Muslimahdaily - Tak sedikit orang beranggapan dan menggaungkan bahwa nikah merupakan ibadah sunnah. Sehingga banyak yang akhirnya tergesa-tega untuk segera menikah. Padahal dirinya belum mampu, baik secara mental ataupun finansial. Karenanya, Islam menetapkan hukum-hukum menikah sesuai dengan kemampuan seseorang.
Menurut Said Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imam Asy-Syafii, “Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang.”
Apa saja hukum-hukum nikah tersebut?
1.Sunah
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang sudah mampu untuk melaksanakannya dan ia juga mampu mengendalikan diri dari berbuat zina. Sunnah adalah hukum asli menikah bagi siapapun yang mampu melakukannya baik mereka yang sudah berniat untuk menikah ataupun belum.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.” HR. Bukhari nomor 4779.
2. Sunah untuk ditinggalkan
Hukum ini berlaku jika seseorang yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk ongkos menikah dan menafkahi istri. Seseorang yang berada dalam kondisi ini sebaiknya menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah, beribadah dan hal-hal bermanfaat lainnya termasuk berdoa kepada Yang Maha Memberia semoga Ia menganugerahkan kemampuan untuk menikah. Allah berfirman dalam Surah An-Nur ayat 33:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِه ِ
Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”
Untuk itu, bagi seseorang dalam kondisi ini, Islam memberi solusi untuk menahan syahwat dengan cara berpuasa. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ " .
Dari Abdullah bin Mas'ud berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Wahai pemuda sekalian, barang siapa yang sudah mampu menafkahi istri maka menikahlah, sesungguhnya hal itu menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu maka berpuasalah, sesungguhnya itu adalah tameng baginya.”
3. Makruh
Hukum ini berlaku apabila seseorang yang belum ingin menikah karena satu dan lain hal yang memiliki urgensi lebih dan ia tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, misalnya ia sedang dalam masa studi. Jika dipaksakan, dikhawatirkan tidak dapat menunaikan hak istri dan kewajibannya sebagai suami serta kepala keluarga.
4. Lebih Utama Jika Tidak Menikah
Hukum ini berlaku pada seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya kelak, namun belum ingin menikah karena sedang menuntut ilmu misalnya atau karena kesibukan lain.
5. Lebih Utama jika Menikah
Jika seseorang yang memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban dalam pernikahan, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu atau beribadah, maka ia lebih baik untuk menikah.
Tak berbeda jauh dengan pendapat yang dikemukakan oleh Said Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Syaikh Muhammad At-Tahami Al-Madani juga mengungkapkan lima hukum menikah dalam karyanya, Quratul Uyun. Kelima hukum tersebut adalah :
1. Wajib apabila orang yang hendak menikah itu memiliki kemampuan untuk menafkahi istrinya dan keluarganya kelak. Namun, jika ia tidak segera menikah khawatir ia akan berbuat zina.
2. Sunnah, jika seseorang sudah mampu dan ingin menikah tapi ia mampu mengendalikan diri dari berbuat zina.
3. Makruh apabilas seseorang belum menghendaki pernikahan dan belum memiliki kemampuan atas hal itu dan jika ia memaksakan dirinya untuk tetap menikah, khawatir tidak mampu memenuhi hak istri dan kewajibannya sebagai suami.
4. Mubah, apabila orang mampu menahan gejolak nafsunya dari berbuat zina namun dirinya belum berminat untuk menikah. Sekalipun ia menikah, ibadah sunnahnya tidak sampai terlantar.
5. Haram, yaitu bagi orang apabila ia menikah, justru akan merugikan isterinya karena ia tidak mampu member nafkah batin dan nafkah lahir. Atau jika menikah, ia akan mencari mata pencarian yang diharamkan Allah. Walaupun orang tersebut sebenarnya sudah berminat menikah dan ia mampu menahan gejolak nafsunya dari berbuat zina.
Itulah hukum-hukum menikah yang pada dasarnya disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu, terutama bagi calon mempelai pria. Karena menikah bukan hanya soal menjalin cinta dengan halal, melainkan juga membangun bahtera kehidupan baru bagi pasangan dan calon anak kelak.