Kisah Iyas dan Pintu Surga yang Terkunci

Muslimahdaily - Iyas bin Mu’awiyyah, seorang ulama sekaligus tabiin utama, membuat orang terheran-heran. Ia menangis tersedu-sedu ketika ibunya meninggal dunia. Masyarakat Basrah begitu merasa heran. Bagaimana mungkin seorang alim yang saleh, seorang qadhi yang bijaksana, tak kuasa menahan air mata atas ujian yang menimpanya.

Ia menangis dengan kesedihan mendalam. Air matanya mengalir deras hingga orang-orang tak tega melihatnya. Mereka mengira bahwa Iyas menangis karena tak kuasa ditinggal ibunda.

Namun Iyas merupakan seorang ulama tersohor di negeri Basrah. Bagaimana mungkin ia tak mampu menerima takdir kematian dan menangisi jenazah ibunya dengan tersedu. Masyarakat terheran-heran, namun tak ada yang tega untuk bertanya.

Hingga salah seorang yang datang takziah memberanikan diri untuk bertanya. Ia tak kuasa menahan diri karena begitu terheran-heran melihat seorang ulama menangis tersedu-sedu saat kematian ibunda. “Mengapa Anda menangis, wahai Iyas?”tanyanya.

Iyas bin Muawiyyah pun menjawab, “Dahulu aku memiliki dua pintu terbuka untuk menuju surga, namun kini salah satunya telah terkunci.”

Masya Allah, karena itulah Iyas sang murid shahabat Rasulullah menangis tersedu-sedu. Bukan karena ia tak sabar menghadapi ujian kematian ibunda, namun karena ia kehilangan kesempatan masuk surga. Ia menangis bukan karena ia tak menerima akan takdir kematian ibunda, akan tetapi karena kehilangan kesempatan berbakti kepada orang tua.

Menurut Iyas, ada dua pintu surga yang bisa ia masuki dengan cara berbakti kepada orang tua. Satu pintu terbuka karena bakti kepada ayahanda, dan satu pintu lagi karena berbakti kepada ibunda. Kini ibunya telah wafat, artinya salah satu pintu surga telah terkunci baginya.

Iyas menangis karena tak bisa lagi berbakti kepada ibunda. Sang ulama merasa kehilangan kesempatan emas untuk masuk surga. Padahal ia seorang saleh yang giat beramal dan memberi nasihat kaum muslimin. Namun ia sangat mengkhawatirkan dirinya tak dapat masuk surga karena tak lagi berkesempatan menjalankan kewajiban berbakti.

Sungguh perumpamaan yang menyentuh jiwa. Orang-orang yang hadir dan mendengar alasan Iyas menangis pun terketuk hatinya. Sebuah nasihat yang berharga didapat dari kematian seorang ibunda.

Apa yang diucapkan Iyas pun menyamai apa yang disabdakan Rasulullah. Sesungguhnya beliau Shallallahu‘alaihi wa sallam pernah mengatakan bahwa berbakti pada orang dua merupakan salah satu cara melewati pintu surga. Bukan pintu surga sembarang, namun pintu surga yang paling tengah, paling nyaman dan paling mudah dimasuki.

Hadits tersebut dikabarkan oleh Abu Darda. Sang shahabat berkata, bahwasanya Rasulullah pernah bersabda, “Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Menjelaskan hadits tersebut, Al Qadhi Baidhawi menuturkan ada dua pendapat ulama mengenai pintu yang dimaksud Rasulullah.

Pendapat pertama mengatakan bahwasanya pintu tengah yang dimaksud merupakan pintu terbaik dan paling tinggi. Seorang yang hendak masuk surga akan mendapati pelayanan terbaik jika melalui pintu tersebut. pintu terbaik tersebut hanya dapat dimasuki oleh seorang yang berbakti kepada orang tua.

Adapun pendapat lain menuturkan bahwa jumlah pintu surga sangatlah banyak. Namun di antara banyaknya pintu, ada satu pintu yang paling nyaman dimasuki, yakni pintu yang paling tengah. Untuk masuk ke pintu tersebut, seorang mu’min haruslah melakukan kewajibannya sebagai anak yaitu berbakti kepada orang tua.

Sayangnya, pintu surga yang paling nyaman dan paling tinggi itu justru sering disepelekan muslimin. Tak sedikit orang yang giat beribadah dan beramal saleh, namun lalai dalam berbakti. Cukup banyak seorang yang giat menuntut ilmu dan berdakwah, namun lupa melayani ibu dan ayah.

Pintu surga yang tengah ini sering kali disepelekan. Pantaslah Rasulullah meneruskan sabdanya dengan nasihat, “Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya.” Semoga kita bukan termasuk golongan yang lalai akan pintu surga mulia tersebut.Iyas bin Mu’awiyyah, seorang ulama sekaligus tabiin utama, membuat orang terheran-heran.

Ia menangis tersedu-sedu ketika ibunya meninggal dunia. Masyarakat Basrah begitu merasa heran. Bagaimana mungkin seorang alim yang saleh, seorang qadhi yang bijaksana, tak kuasa menahan air mata atas ujian yang menimpanya.

Ia menangis dengan kesedihan mendalam. Air matanya mengalir deras hingga orang-orang tak tega melihatnya. Mereka mengira bahwa Iyas menangis karena tak kuasa ditinggal ibunda.

Namun Iyas merupakan seorang ulama tersohor di negeri Basrah. Bagaimana mungkin ia tak mampu menerima takdir kematian dan menangisi jenazah ibunya dengan tersedu. Masyarakat terheran-heran, namun tak ada yang tega untuk bertanya.

Hingga salah seorang yang datang takziah memberanikan diri untuk bertanya. Ia tak kuasa menahan diri karena begitu terheran-heran melihat seorang ulama menangis tersedu-sedu saat kematian ibunda. “Mengapa Anda menangis, wahai Iyas?”tanyanya.

Iyas bin Muawiyyah pun menjawab, “Dahulu aku memiliki dua pintu terbuka untuk menuju surga, namun kini salah satunya telah terkunci.”

Masya Allah, karena itulah Iyas sang murid shahabat Rasulullah menangis tersedu-sedu. Bukan karena ia tak sabar menghadapi ujian kematian ibunda, namun karena ia kehilangan kesempatan masuk surga. Ia menangis bukan karena ia tak menerima akan takdir kematian ibunda, akan tetapi karena kehilangan kesempatan berbakti kepada orang tua.

Menurut Iyas, ada dua pintu surga yang bisa ia masuki dengan cara berbakti kepada orang tua. Satu pintu terbuka karena bakti kepada ayahanda, dan satu pintu lagi karena berbakti kepada ibunda. Kini ibunya telah wafat, artinya salah satu pintu surga telah terkunci baginya.

Iyas menangis karena tak bisa lagi berbakti kepada ibunda. Sang ulama merasa kehilangan kesempatan emas untuk masuk surga. Padahal ia seorang saleh yang giat beramal dan memberi nasihat kaum muslimin. Namun ia sangat mengkhawatirkan dirinya tak dapat masuk surga karena tak lagi berkesempatan menjalankan kewajiban berbakti.

Sungguh perumpamaan yang menyentuh jiwa. Orang-orang yang hadir dan mendengar alasan Iyas menangis pun terketuk hatinya. Sebuah nasihat yang berharga didapat dari kematian seorang ibunda.

Apa yang diucapkan Iyas pun menyamai apa yang disabdakan Rasulullah. Sesungguhnya beliau Shallallahu‘alaihi wa sallam pernah mengatakan bahwa berbakti pada orang dua merupakan salah satu cara melewati pintu surga. Bukan pintu surga sembarang, namun pintu surga yang paling tengah, paling nyaman dan paling mudah dimasuki.

Hadits tersebut dikabarkan oleh Abu Darda. Sang shahabat berkata, bahwasanya Rasulullah pernah bersabda, “Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Menjelaskan hadits tersebut, Al Qadhi Baidhawi menuturkan ada dua pendapat ulama mengenai pintu yang dimaksud Rasulullah.

Pendapat pertama mengatakan bahwasanya pintu tengah yang dimaksud merupakan pintu terbaik dan paling tinggi. Seorang yang hendak masuk surga akan mendapati pelayanan terbaik jika melalui pintu tersebut. pintu terbaik tersebut hanya dapat dimasuki oleh seorang yang berbakti kepada orang tua.

Adapun pendapat lain menuturkan bahwa jumlah pintu surga sangatlah banyak. Namun di antara banyaknya pintu, ada satu pintu yang paling nyaman dimasuki, yakni pintu yang paling tengah. Untuk masuk ke pintu tersebut, seorang mu’min haruslah melakukan kewajibannya sebagai anak yaitu berbakti kepada orang tua.

Sayangnya, pintu surga yang paling nyaman dan paling tinggi itu justru sering disepelekan muslimin. Tak sedikit orang yang giat beribadah dan beramal saleh, namun lalai dalam berbakti. Cukup banyak seorang yang giat menuntut ilmu dan berdakwah, namun lupa melayani ibu dan ayah.

Pintu surga yang tengah ini sering kali disepelekan. Pantaslah Rasulullah meneruskan sabdanya dengan nasihat, “Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya.” Semoga kita bukan termasuk golongan yang lalai akan pintu surga mulia tersebut.

Add comment

Submit