Kisah Zainal Abidin yang Tak Pernah Makan Bersama Ibunda

Muslimahdaily - Berbakti kepada kedua orang tua, terutama ibu merupakan kewajiban bagi kita semua. Kewajiban ini dicantumkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu. Bahkan Rasulullah pernah ditanya oleh salah seorang sahabat tentang kepada siapa saja dia harus berbakti. Rasulullah pun menyebut nama Ibu sebanyak tiga kali, sementara ayah hanya satu kali.

"Seseorang datang kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,' Nabi menjawab, 'Kemudian ayahmu.'" (HR. Al Bukhari).

Dari hadis tersebut, bisa kita lihat bahwa ibu merupakan sosok utama yang harus kita hormati baru kemudian ayah. Adalah Abdul Hasan Ali bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib atau yang sering disebut Zainal Abidin, sosok yang benar-benar menghormati sosok ibunya sekalipun bukan ibu kandungnya.

Kisahnya dimulai sejak ayah dari Zainal Abidin yang tak lain adalah Hussein bin Ali bin Abi Thalib menikahi seorang wanita keturunan Kisra, sebutan bagi raja-raja dari Persia. Pada awalnya, ibunya merupakan seorang tawanan perang dan dijadikan budak. Tapi kemudian sang ayah membebaskannya dan dijadikannya istri. Sang ibu yang mulanya bernama Syah Zinan yang berarti ratunya para wanita, merubahnya menjadi Ghazalah setelah memeluk Islam.

Tidak lama kemudian, Allah memberikan rejeki dan kemuliaan kepada Ghazalah dengan lahirnya Ali bin Hussein yang begitu tampan. Ghazalah memberinya nama Ali sama dengan nama kakeknya yakni Ali bin Abi Thalib.

Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama, Allah ternyata lebih mencintai Ghazalah dan memanggilnya terlebih dulu. Ia pun meninggal dalam masa nifas setelah mengalami pendarahan berlebih saat proses melahirkan.

Pada akhirnya, Ali kecil diasuh oleh seorang budak wanita yang benar-benar menyayanginya layaknya darah dagingnya sendiri. Oleh karena itu, Ali pun besar tanpa mengenal ibu yang lain selain budak wanita tersebut.

Setelah ayahnya, Hussein bin Ali bin Abi Thalib yang syahid di Karbala, Ali pun langsung berada di bawah bimbingan bibinya yaitu Zainab binti Ali bin Abi Thalib. Ali tumbuh menjadi pribadi yang sholeh dan memiliki wawasan luas. Ia menuntut ilmu langsung dari para sahabat yang masih tersisa dan para tabi’in generasi pertama di Masjid Nabawi, Madinah.

Maka sudah tidak diragukan lagi, setelah menjadi dewasa Ali menjadi ulama yang terkenal akan ibadahnya dan keilmuannya. Maka dari itu panggilan Zainal Abidin yang berarti orang yang bagus ibadahnya tercap dalam dirinya.

Sekalipun sudah menjadi pemuka tabi’in yang sangat dihormati, Ali Zainal Abidin tetap rendah hati dan banyak bersedekah. Ketakwaannya kepada Allah ta’ala sudah tidak dipertanyakan lagi, apalagi sikap berbaktinya pada ibu angkatnya, masih tetap ia pertahankan.

Suatu saat, banyak para sahabat dan masyarakat yang bertanya kepada Ali Zainal Abidin, “Sungguh, engkau adalah orang yang sangat berbakti kepada ibumu. Tapi, mengapa kami tidak pernah melihatmu makan bersama ibumu?”

Dengan lembutnya, Ali Zainal Abidin pun menjawab, “Saya khawatir mendahului makan makanan yang hendak dimakan oleh ibu saya. Karena menurut saya itu termasuk tindakan durhaka kepadanya.”

Masya Allah, bisa kita lihat sendiri bahwa sikap Ali Zainal Abidin benar-benar mencerminkan dari isi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radiyallahu'annhu. Walaupun ia tumbuh dengan ibu angkat yang tidak melahirkannya langsung, tetapi rasa hormat tidak berkurang sedikit pun dari diri Ali. 

Wallahu 'alam.

Add comment

Submit