Muslimahdaily – Penguasa yang ada pada saat ini kebanyakan berambisi pada kecintaannya terhadap dunia yang dapat menjadikan dirinya kaya raya, berkuasa, dan terkenal. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan serta akhir dari sebuah pencapaian dalam kehidupan. Para penguasa seolah lupa pada ketidak abadian hidup dan lupa kepada Allah yang Maha Kuasa.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan kisah seorang khalifah yang ada pada zaman Nabi yaitu, Sa’id bin ‘Amir. Beliau adalah contoh seorang penguasa yang lebih memilih untuk hidup sederhana ketimbang menikmati keistimewaan yang didapat. Cintanya pada Islam dan Allah Ta’alla membuat dirinya lebih senang mengejar surga dibanding dunia.

Sa’id bin ’Amir adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam, ia pun selalu ikut serta dalam semua perjuangan dan jihad yang di hadapi oleh Rasulullah. Said menganut islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar, peperangan abtara umat Islam dengan Yahudi Bani Nadhir.

Suatu ketika Sa’id bin ’Amir dipanggil oleh Umar bin Khattab, kemudian beliau menawarkan jabatan sebagai wali kota Homs(daerah Syiria) kepada Sa’id. Awalnya ia menolak, namun Umar berhasil meyakinkan Sa’id dengan kata-katanya, dalam sekejap Sa’id dapat diyakinkan. Akhirnya Sa’id pergi ke Homs beserta istri.

Ketika kedudukan mereka telah mantap di Homs, sang istri meminta kepada Sa’id agar menggunakan haknya untuk dibelanjakan pakaian dan perlengkapan rumah lalu menyimpan sisanya. Jawaban Sa’id malah berbeda dengan apa yang diharapkan istrinya, ia mengatakan lebih baik haknya digunakan untuk memodalkan seseorang. Melihat kebijakan jawaban sang suami, sang istri pun akhirnya setuju.

Hari pun berlalu, istri Sa’id bertanya soal perdagangan dan keuntungan. Sa’id menjawab bahwa perdagangannya berjalan lancar bahkan keuntungan pun semakin meningkat. Di lain hari istrinya mengajukan lagi pertanyaan serupa, namun jawaban Sa’id pada saat itu hanya tersenyum lalu tertawa. Di desaknya Sa’id agar memberi jawaban yang sebenarnya, maka tersampaikan bahwa harta itu telah disedeqakahi.

Istrinya menangis karena harta itu tak bermanfaat sedikitpun, Sa’id pun memandangi istrinya yang tengah bersedih lalu ia berkata,”Saya mempunyai kawan-kawan yang telah dahulu menemui Allah dan saya tidak ingin menyimpang dari jalan mereka, walaupun ditebus dengan dunia dan segala isinya.”

Istrinya pun diam dan maklum bahwa tak ada yang lebih utama baginya daripada mengikuti jalan yang telah ditempuh suaminya. Ia hanya berusaha mengendalikan diri untuk mencontoh sifat zuhud serta ketaqwaan sang suami.

Suatu ketika Umar berkunjung ke Homs, ditanyanya kepada para penduduk, “Bagaimana pendapat kalian tentang Sa’id?”

Sebagian penduduk tampil kedepan dan mengadu, katanya, ”Ada empat hal yang hendak kami kemukakan. Pertama, ia keluar setelah siang hari. Kedua, tidak melayani seseorang di malam hari. Ketiga, setiap bulan ada dua hari dimana kami tidak bisa bertemu denganya. Dan ada lagi yang bukan salahnya tapi menganggu kami, yaitu suatu hari ia jatuh pingsan.”

Lalu Sa’id di persilahklan untuk membela dirinya, ia berkata, ”Mengenai tuduhan mereka bahwa saya tak keluar sebelum siang hari, maka demi Allah sebetulnya saya tak mau menyebutkannya, keluarga kami tak punya pelayan, maka saya yang mengaduk tepung, lalu saya membuat roti kemudian wudhu untuk shalat dhuha. Setelah itu baru saya keluar.

Adapun tuduhan mereka bahwa saya tak mau melayani mereka di waktu malam, maka demi Allah saya benci menyebutkan sebabnya. Saya telah menyediakan waktu siang untuk mereka dan malam bagi Allah Ta’alla.

Sedangkan ucapan mereka bahwa dua hari setiap bulan saya tidak menemui mereka, maka sebabnya seperti saya katakana tadi, saya tidak punya pelayan yang akan mencuci pakaian sedangkan pakaian saya tidak banyak untuk dipergantikan. Jadi, terpaksa saya mencuci dan menunggu sampai kering hingga keluar ketika petang.

Kemudian tentang keluhan mereka bahwa saya sewaktu-waktu jatuh pingsan, sebabnya karena saya terkenang peristiwa Khubaib al-Anshari yang dagingnya dipotong-potong oleh kaum Quraisy dan saya tak hendak mengulurkan pertolongan karena ketika itu saya masih dalam keadaan musyrik, maka setiap terkenang hal itu tubuh saya gemetar takut akan siksaan Allah.”

Sampai di sana berakhirlah kata-kata Sa’id, ia membiarkan bibirnya basah oleh air mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang shalih. Mendengar hal itu Umar tak dapat lagi menahan diri dan rasa harunya.

Sekiranya mungkin ia tidak berada di bumi atau dunia lagi, ia dapat berada di surga Firdausi. Karena seluruh uang tunjangan dan gaji yang diperoleh sangat banyak ,tetapi yang diambil hanya sekedarnya saja untuk keperluahan diri dan istrinya sedangkan selebihnya dibagikan kepada yang lebih membutuhkan. Tak ada yang dibawanya kecuali zuhud, keshalihan, ketaqwaan serta kebenaran jiwa dan budi baiknya.