Muslimahdaily - Gigih merupakan ketetapan seseorang terhadap suatu pendirian yang ingin dilaksanakan. Namun sebuah kegigihan pada saat ini sulit sekali untuk ditetapkan, karena banyaknya keinginan yang dibuat hingga terasa sulit untuk menekuni satu hal saja. Akhirnya sifat gigih yang harusnya dimiliki dapat dengan mudah dipatahkan.
Berbeda dengan sifat sahabat yang bernama Zaid Bin Tsabit. Beliau adalah pemuda yang gigih dalam menjalankan sesuatu, dirinya hanya ingin berbakti pada ajaran agama Allah. Karena kegigihanya itu pula, kita sebagai umat muslim dapat dengana mudah membaca Al-Qur’an, sebab beliau merupakan salah satu sahabat yang mengumpulkan Al-Qur’an menjadi Mushaf.
Zaid Bin Tsabit adalah seorang Anshar dari Madinah. Pada umur 11 tahun ia memutuskan menjadi muslim bersama dengan seluruh keluarganya. Ayahnya pun pernah mengajak Zaid untuk ikut serta dalam perang Badar, namun ditolak oleh Rasulullah sebab pada saat itu umurnya masih terlampau muda pun tubuhnya masih kecil.
Sampai pada perhelatan perang berikutnya yaitu perang Uhud dirinya datang bersama delapan orang teman sebayanya untuk dapat diterima rasul dalam barisan Mujahidin. Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam pun tetap menolaknya.
Tak gentar, dua orang teman Zaid mencoba unjuk kebolehanya di depan Rasul, mereka berdua pun akhirnya diterima karena dirasa tubuhnya cukup besar dan telah memiliki kekuatan. Melihat kejadian tersebut Zaid dan sisa temanya itu juga mencoba. Tak ayal, Rasulullah tetap menolak sebab mereka masih terlalu muda dan tulang tubuh mereka pun masih lemah.
Pada saat perang Khandaq akhirnya Zaid mendapat giliran ikut dalam barisan Rasul sebagai prajurit pembela agama Allah. Kepribadian Zaid bin Tsabit terus tumbuh dengan cepat dan menakjubkan. Ia bukan hanya terampil sebagai seorang pejuang tetapi juga ilmuan dengan beragam bakat dan kelebihan. Zaid pun tak henti-henti menghafal Al-Qur’an, menuliskan wahyu untuk Rasul dan meningkatkan diri dalam ilmu dan hikmat.
Zaid pun juga ditunjuk oleh khalifah Abu Bakar Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu sebagai penghimpun Al-Qur’an. Sebab pada saat itu Al-Qur’an tidak turun sekaligus. Sesungguhnya Al-Qur’an merupakan suatu pedoman bagi umat baru yang dibangun secara alami, sebingkah demi sebingkah dan hari demi hari hingga bangkitlah aqidah dan keyakinan.
Dalam melaksanakan tugas yang besar dan penting ini, Zaid berhasil dengan amat gemilang. Tiada henti dirinya menghimpun ayat dan surah dari dada para penghafal serta catatan tulisan dengan meneliti, mempersamakan serta memperbandingkan satu dengan lainnya, hingga akhirnya dapatlah dihimpun Al-Qur’an yang tersusun dan teratur rapi.
Dirinya pun sempat melukiskan betapa sulitnya tugas yang diembannya, mengingat kesucian tugas dan kemuliaan tugas tersebut. Ia berkata,“Demi Allah, seandainya mereka memintaku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, akan lebih mudah kurasa dari pada perintah mereka menghimpun Al-Qur’an.” Sebab seberapa pun kecilnya kesalahan dalam menulis ayat ataupun surat dapat berbahaya.
Zaid pun akhirnya berhasil mengerjakan tugas yang sulit itu. Ia mengerjakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Kegigihan ini lah yang patut kita contoh pada era saat ini, mencoba menetapkan suatu pilihan dan menekuninya hingga mendapatkan sebuah pencapaian yang gemilang.