Muslimahdaily - Jundab bin Janadah, seorang pembegal ulung dari kabilah Ghiffar. Sebuah kabilah Arab Badui yang penduduknya tinggal di daerah pegunungan, jauh dari pusat kota.
Kondisi ekonomi kabilah Ghiffar sungguh memprihatinkan. Kelaparan dan keterbelakangan. Segala kekurangan membuat kabilah ini mencari penghidupan melalui cara yang tak elok. Merampok dengan cara yang begitu kejam.
Dengan latar belakang inilah Jundab tumbuh. Sejak kecil ia sudah terlatih untuk merapok. Tak heran jika aksi kejamnya itu begitu terkenal bahkan di negeri sekitarnya.
Korban-korban berjatuhan di tangan perampok besar ini. Namun, hal itu justru mebuatnya menyesal. Hati kecilnya berkata bahwa apa yang ia lakukan adalah kesalahan fatal. Ia sadar bahwa dirinya telah tersesat di jalan setan.
Pria itu merasa tak nyaman atas apa yang ia kerjakan sedari kecil. Ingin rasanya melakukan hal yang lebih baik dari merampok. Akhirnya, ia menempuh jalan taubat dan mengajak kawan-kawannya untuk meninggalkan aksi kejamnya.
Tapi sayang, pilihan yang ia ambil justru menyebabkan dirinya, sang ibu dan adiknya harus diusir dari kampung halaman. Mereka memutuskan untuk pergi ke Najed Atas. Tak lama tinggal disana, terjadilah pergesekan sosial yang memaksa mereka pergi ke tujuan lain.
Saat itu, Jundab menerima kabar bahwa di Makkah ada seseorang yang telah menerima wahyu. Rasa penasaran memenuhi jiwanya. Harapan dan rasa cemas muncul bersamaan. Demi mendapat ketenangan hati, iapun meminta adiknya, Unais, untuk memvalidasi berita yang sampai padanya.
Unais pun bergegas pergi menuju Makkah dan mencari tahu profil orang yang diklaim sebagai penerima wahyu itu. Ia pun segera menemui kakaknya setelah mendapat fakta mengenai penerima wahyu itu.
Dengan begitu antusias, Unais al-Ghifari melaporkan, “Sungguh aku telah menemui seorang pria yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kejahatan.”
“Orang-orang berkata bahwa pria itu adalah penyair, tukang ramal, dan tukang sihir. Tapi aku ini telah terbiasa mendengar perkataan peramal, sedang apa yang dikatakan pria itu tidaklah seperti mereka. Aku pun telah membandingkan omongannya dengan omongan para penyair. Ucapannya begitu berbeda dengan bait-bait syair. Demi Tuhan, dialah orang yang benar ucapannya, dan mereka yang menghinakannya adalah dusta!”
Rasa penasaran itu tak kunjung hilang, justru semakin menjadi-jadi. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke Makkah demi menemui pria yang diceritakan itu.
Sesampainya di Makkah, ia singgah di Ka’bah dengan perbekalan yang ia bawa. Disana, ia hanyalah pendatang yang tak kenal dengan siapapun. Ia menanti orang yang dibicarakan itu di dalam Ka’bah sampai perbekalannya menipis lalu habis.
Ia hanya menanti orang yang dituduh sebagai ahli ramal tanpa mencari dan bertanya-tanya pada penduduk Makkah. Ia paham betul bahwa penduduk Makkah begitu membenci orang yang ia cari. Selama penantian, ia hanya meminum air zam-zam demi mengisi perutnya dan mengembalikan tenaga yang hilang.
Keadaan seperti itu harus ia jalani selama sebulan hingga Ali bin Abi Thalib datang dan menyapanya, “Apa engkau pendatang?”
Jundab menjawab, “Ya.”
“Mari ikut aku ke rumah.” Ajak Ali.
Di rumah Ali Radhiyallahu’anhu, ia dijamu dengan hidangan. Jundab masih bersikap pasif hingga tak ada obrolan diantara mereka berdua. Setelah menikmati hidangan yang disediakan, ia justru pamit pergi menuju Ka’bah.
Ali merasa ada kegelisahan pada pria yang ia jamu barusan. Keesokan harinya, Ali bin Abi Thalib menemuinya kembali dan bertanya, “Apakah engkau akan kembali ke rumahmu?”
“Tidak.” Jawab Jundab.
“Lalu, apa sebenarnya maksudmu datang kemari?” Tanya Ali.
“Aku akan menjawab pertanyaanmu jika engkau berjanji tak akan meberitahukannya pada siapapun.” Pinta Jundab.
“Aku berjanji akan merahasiakannya.”
Dengan nada begitu rendah, Jundab berkata, “Aku mencari seseorang yang mengaku bahwa dirinya menerima wahyu.”
Ali langsung memberi arahan, “Aku akan mengantarmu padanya. Ikutilah ke mana aku berjalan dan masuklah ke rumah yang aku masuki. Dan bila aku melihat ada bahaya mengancammu, aku akan memberi syarat dengan berdiri mendekat ke tembok dan seolah-olah sedang membenahi alas kaki. Kalau hal itu kulakukan, segeralah pergi.”
Sambil menjaga jarak, Jundab mengikuti langkah Ali. Tak ada halangan sepanjang perjalanan menuju kediaman Nabi. Saat sampai di tujuan, Jundab merasa amat bahagia. Inilah saat yang amat ia tunggu.
Ia berbicara kepada Nabi Muhammad dan menyampaikan kegelisahan hatinya. Saat itu pula, Jundab menyatakan dirinya untuk memeluk agama yang lurus.
Mendengar keinginan Jundab, Nabi menuntunnya untuk bersyahadat dan beliau berpesan, “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah keislamanmu dan pulanglah ke kampungmu. Lalu bila engkau mendengar kabar bahwa kami telah menang, datanglah kemari untuk bergabung dengan kami.”
Junda bin Janadah, ialah Abu Dzar Al-Ghifari yang terkenal. Perampok kejam itu telah memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata dengan tegas, “Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh, aku akan berteriak di hadapan mereka bahwa diriku telah masuk Islam!”
Melihat sikap Abu Dzar, Rasul hanya diam.
Mantan perampok itu keluar menuju Ka’bah dengan memamerkan keislamannya di hadapan penduduk Makkah. Tanpa takut, ia berteriak sekeras-kerasnya bahwa ia telah memeluk agama yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah.
Aksi nekad Abu Dzar membuat pemuka Quraisy geram lalu berteriak, “Tangkap orang itu!.”
Kaum Kasfir Quraisy pun menyerang Abu Dzar sampai dirinya jatuh terkapar. Pada suasana genting itu, datanglah Abbas dan berkata, “Bagaimana kalian ini, apakah kalian akan membunuh seorang dari Kabilah Ghifar, bukankah selama ini dalam berdagang dan berinteraksi dengan dunia luar, kalian melewati daerah kekuasaan mereka!”
Merekapun mundur dan meninggalkan Abu Dzar yang tak berdaya. Ia tak menyesali perbuatannya, ia mengulang aksinya di keesokan hari. Amuk massa kembali tertuju padanya. Tapi setelah itu, ia menjalankan nasihat Rasul untuk kembali ke kampung halamannya.
Setibanya di Kabilah Ghifar, bertekad untuk memulai dakwahnya. Meskipun sempat diusir, namun ia yakin bahwa perubahan butuh waktu.
Dakwah menuju Islam ia sampaikan kepada keluarganya terlebih dahulu. Unais Al-Ghifari, ibunya, dan Ramlah bintu Al-Waqi’ah Al-Ghifariyah.
Kegigihan Abu Dzar dalam berdakwah berbuah manis. Separuh Kabilah Ghifar menyatakan diri masuk Islam. Separuh yang lain masuk Islam setelah terdengar kabar bahwa Nabi Muhammad telah berhijrah ke Yatsrib meninggalkan Kota Makkah.
Suatu hari saat rombongan Nabi Muhammad telah menetap di Madinah, datanglah pasukan yang membentuk barisan panjang menuju masjid Rasulullah. Mereka adalah Kabilah Ghifar yang telah seluruhnya telah memeluk agama Islam.
Melihat hal ini, Rasulullah bersabda, “Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. Benar batinnya, benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga ucapannya.”
Abu Dzar, sahabat yang memiliki masa lalu teramat kelam. Namun setelah Islam menghampiri hatinya, kejujuran dan beribu kebaikan menghiasi hari-harinya. Seluruh waktu dan jiwanya ia korbankan untuk membela agama Allah.
Di tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Madinah, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya. Pria itu bertanya, “Apa yang kau tangiskan istriku, padahal maut itu pasti datang?”
Istrinya menjawab, “Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!”
“Sudahi tangismu” Pinta Abu Dzar
“Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.’ Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal.
Tak ada lagi hidup selain aku. Inilah aku yang menghadapi sakaratul maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalan itu, siapa tahu rombongan orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong dan tidak juga dibohongi!"
Dan benar adanya, rombongan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas'ud melewati padang pasir sunyi itu. Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas'ud melihat sosok tubuh terbujur kaku dan di sisinya terdapat seorang wanita tua serta seorang anak kecil yang menangis.
Pandangan Ibnu Mas'ud tertuju mayat yang tergeletak di sepinya Rabadzah, tak lain tak bukan, ialah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya mengucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas'ud berkata, “Benarlah ucapan Rasulullah, anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri.”