Muslimahdaily - Ini adalah sebuah kisah Ashabul Ukhdud, tentang mereka yang membakar orang-orang beriman dalam sebuah parit, tentang orang-orang yang teguh dalam Islam walau dihadapkan dengan ajal, juga tentang seorang Rajanya yang keji.

Semua bermula ketika sang Raja mengutus seorang pemuda dari kampung yang jauh untuk belajar sihir demi menjadi pengganti tahtanya kelak. Perjalanan dari kampung menuju tempat si Tukang Sihir sangatlah jauh dan di perjalanan itu ia melihat tempat singgah seorang Rahib yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Rahib itu mengasingkan diri karena masyarakat menjadikan Raja sebagai Tuhan.

Sang Pemuda sering kali singgah di tempat sang Rahib, hingga ia mulai tertarik mempelajari ajaran-ajaran yang dianut oleh sang Rahib, yaitu ilmu agama. Selepas mempelajari ilmu agama, ia tetap mempelajari ilmu sihir sesuai pinta sang Raja.

Suatu ketika, di tengah perjalanan menuju rumah si Tukang Sihir, sang Pemuda melihat binatang besar yang menghalangi jalan. Muncullah pikiran untuk menguji, ajaran manakah yang lebih utama, sang Rahib atau si Tukang Sihir. Maka, ia pun berdoa kepada Allah subhanahu wa ta'ala,

“Ya Allah, jika engkau lebih mencintai apa yang dibawa oleh rahib dari pada apa yang dibawa oleh tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini, supaya manusia bisa bebas dari gangguannya.”

Ia lemparkan sebuah batu, dan atas izin Allah, binatang besar itu mati seketika. Yakinlah si pemuda tentang keutamaan dan kebenaran ajaran sang Rahib. Ia dikaruniai mukjizat menyembuhkan orang yang buta, sakit belang, dan penyakit lainnya. Hingga datanglah seorang Pejabat, kerabat dekat sang Raja, yang minta disembuhkan kebutaannya dengan menjanjikan hadiah untuk sang Pemuda.

Sang Pemuda justru menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, Allahlah yang menyembuhkan, apabila engkau beriman kepada Allah aku akan berdoa kepada-Nya agar menyembuhkanmu.”

Maka pejabat itu pun beriman kepada Allah, kemudian Allah menyembuhkan sakitnya. Hingga tibalah kabar itu di telinga sang Raja ketika ia melihat kerabatnya sudah sembuh dari kebutaan.

“Siapakah yang menyembuhkan penglihatanmu?” tanya sang Raja.

Sang Pejabat menjawab, “Rabbku.”

Mendengar jawaban itu, sang Raja murka. “Apakah kamu mempunyai Rabb selain aku?” bentaknya, tidak terima.

“Rabbku dan Rabbmu adalah Allah," jawab sang Pejabat lagi.

Demi jawaban itu, si Pejabat menuai siksaan dari sang Raja hingga ia mau menunjukkan keberadaan si Pemuda. Dicari, lalu ditangkaplah sang Pemuda. Alangkah terkejutnya sang Raja bahwa pemuda yang dimaksud adalah pemuda yang ia didik ilmu sihir untuk menggantikan tahtanya kelak.

Sang Raja pun bertanya, "Wahai anakku, sungguh sihirmu itu telah mencapai tingkatan untuk dapat menyembuhkan kebutaan, sakit belang dan lainnya.”

Tak disangka-sangka sebelumnya, sang pemuda justru menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, Allahlah yang menyembuhkan.”

Mendengar jawaban yang sama dengan si Pejabat, sang Pemuda pun disiksa sebagaimana si Pejabat disiksa hingga akhirnya pemuda itu menunjukkan keberadaan sang Rahib, pembawa ajaran-ajaran Allah.

Ditangkaplah sang Rahib, lalu dipaksa ia untuk kembali kepada agama sang raja, tetapi tetap ditolak karena ia memilih agama Allah. Maka sang Raja membunuh sang rahib yang beriman ini dengan cara yang keji—menggergajinya sehingga terbelah menjadi dua bagian. Tidak berbeda pula nasib sang pejabat, ia pun dibunuh dengan cara yang sama.

Namun, sang Raja menginginkan kematian yang berbeda pada si Pemuda. Ia memerintahkan pasukannya untuk membawa pemuda itu ke gunung dan melemparnya dari puncak—dan ternyata gagal. Sang Raja heran, tetapi ia tidak berhenti. Ia memikirkan cara lain, tetapi percobaan pembunuhannya tetap gagal.

Setiap mereka ingin membunuhnya, si pemuda selalu berdoa kepada Allah, “Ya Allah selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Maka, dengan atas izin Allah, pemuda itu selalu selamat dari akal bulus sang Raja dan kembali kepada Raja dalam keadaan selamat. Raja pun merasa bingung mencari cara menghabisi si pemuda tersebut. Dengan penuh pertimbangan, akhirnya si pemuda memberitahukan kepada Raja cara membunuh dirinya.

"Engkau tidak akan bisa membunuhku sampai engkau melakukan apa yang aku perintahkan. Kumpulkan manusia dalam satu tempat yang luas, saliblah aku pada batang pohon, lalu ambillah anak panah dari tempat anak panahku, kemudian katakanlah ‘Dengan menyebut Nama Allah, Rabb anak ini’ dan panahlah aku dengannya," jelas sang Pemuda.

Sang Raja yang menginginkan pemuda itu dibunuh pun segera melakukan perintah itu. Tanpa Raja sadari bahwa ia tidak mengetahui rencana Allah yang Maha Mengetahui.

Hari itu pun tiba. Manusia dikumpulkan di suatu tempat, Raja mengambil anak panah dari tempat anak panah si Pemuda, kemudian ia panah si pemuda sembari mengatakan, “Dengan menyebut Nama Allah, Rabb anak ini.”

Anak panah itu melesat tepat mengenai pelipis si pemuda. Dengan izin Allah matilah pemuda itu di tangan Raja.

Apakah Raja bersuka cita? Tentu saja. Namun, ia justru dikejutkan dengan pernyataan rakyatnya yang tiada ia duga sebelumnya.

“Kami beriman dengan Rabb anak ini, kami beriman dengan Rabb anak ini," seru rakyatnya, berulang kali.

Demi mendengar itu, semakin murkalah sang Raja. Pemuda itu sudah ia bunuh, tetapi ia justru dikhianati rakyatnya sendiri. Ia tidak terima, lalu ia perintahkan pengikutnya untuk membuat parit-parit di setiap ujung jalan dan menyalakan api di dalamnya. Perintahnya hanya satu: Bunuh siapa saja yang tetap beriman kepada Allah.

Satu persatu mereka digiring dan dilempar ke dalam parit tersebut, menemui ajal dengan mendapatkan keridhaan Allah. Hingga ada seorang wanita yang menggendong bayinya. Ia beriman pada Allah, tetapi ia tidak tega jika buah hatinya terbakar di dalam api.

Dengan izin Allah, bayi itu pun berkata, ”Wahai, Ibuku! Bersabarlah, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran."

Maka, demi mendengar perkataan bayi tersebut, bulatlah tekadnya untuk masuk ke dalam kobaran api untuk mempertahankan keimanannya. Karena sesungguhnya, mereka yang mati terbakar adalah mereka yang beriman dalam agama Allah.

Rifina Dwiseptia Hanafi

Add comment

Submit