Muslimahdaily - Di dunia ini kehidupan dipenuhi oleh tuntutan dan tekanan yang tiada habisnya. Untuk memenuhi standar hidup tertentu, kebanyakan orang memilih untuk membesarkan rasa gengsi semata.
Salah satu contohnya yaitu desakan kehidupan pada saat ini adalah standar kebahagiaan diukut berupa kondisi finansial, serta mampu membeli barang-barang yang terkesan mewah, agar bisa dipandang dan diakui oleh orang-orang sekitar bahwa kita mampu membelinya.
Kini mulai populer dengan adanya gaya hidup minimalis yang mengajak orang-orang untuk dapat hidup dengan barang yang mampu kita beli saja, agar mendapatkan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan yang murni tanpa harus bergantung pada materi yang menjerumuskan kita kedalam kesedihan.
Tren hidup minimalis yang tengah populer di kalangan masyarakat Indonesia, nyatanya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat negeri Sakura (Jepang) ini. Karena negara tersebut juga merupakan salah satu pelopor dari adanya gaya hidup minimalis.
Marie Kondo, merupakan salah satu orang yang mempopulerkan gaya hidup minimalis dengan teknik KonMari-nya yang kini sudah mendunia.
Selain Marie Kondo yang membagikan ilmu tentang gaya hidup minimalis, Fumio Sasaki juga merupakan salah satu orang yang cukup terkenal dalam komunitas gaya hidup minimalis di Jepang bahkan hingga dunia.
Fumio Sasaki adalah penulis dari buku Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang. Di usia 35 tahun dan masih lajang, ia menempati sebuah apartemen di daerah Nakameguro, Tokyo sambil bekerja sebagai editor sebuah penerbitan. Apartemen itu sudah ia huni selama 10 tahun.
Jalan hidup Fumio Sasaki berubah ketika ia memutuskan pindah ke apartemen yang lebih murah biaya sewanya. Namun proses pindah itu hampir membuat tabungannya ludes.
Sejak itu ia berpikir ulang tujuan hidupnya, memutuskan apa yang membuatnya bahagia. Saat itulah ia menyingkirkan sebagian besar barang miliknya.
Sasaki memahami minimalisme sebagai "gaya hidup yang berarti kita mengurangi jumlah barang yang kita miliki sampai tingkat paling minimum." Di bukunya ia menjelaskan, di masa lalu orang Jepang hidup minimalis.
Sebagian besar orang Jepang hanya memiliki dua sampai tiga kimono bersih. Orang bepergian tanpa pernah membawa banyak barang.
Sebetulnya, gaya hidup minimalis tak hanya pernah tumbuh di Jepang. Di berbagai masrayakat pra-industrialisasi dan konsumerisme, hidup minimalis dalam arti pola hidup sederhana jamak dilakukan.
Di seri buku Learning to Live edisi "Konsumerisme" (2011: 15) dikatakan, di beberapa negeri Eropa, sebelum ledakan ekonomi tahun 1960-an, baju digunakan selama mungkin, baju yang sudah tidak layak digunakan untuk lap, kain pel, dan sebagainya, mewariskan jam dan barang pecah belah dari generasi ke generasi dan umumnya, tidak membuang apa pun yang bisa diperbaiki atau digunakan kembali.
Di Jepang sendiri, minimalisme mulai banyak dibicarakan kembali sejak 2010. Sekitar tahun itu konsep "danshari" yakni seni membereskan, membuang, dan berpisah dari barang-barang jadi pembicaraan publik.
Fumio Sasaki menegaskan, di zaman sekarang, kala teknologi kian canggih, pola hidup minimalis lebih gampang dipraktikkan. Untuk mendengarkan musik, ada pemutar MP3 atau iPod yang bisa menyimpan ribuan lagu. Bahkan, ada layanan streaming lagu yang bisa diunduh aplikasinya.
Demikian juga film dan buku. Kini ada layanan streaming film yang mudah diakses. Buku bisa dibaca versi digitalnya, tak perlu menyesaki ruangan dengan rak. Begitu juga televisi. Asal ada sambungan internet, kita bisa kunjungi situs stasiun TV atau mencari situs streaming.
Setelah curhat soal kehidupannya, Sasaki mengisi dua pertiga bukunya dengan tips bagaimana jadi minimalis. Tidak tanggung-tanggung, ia memberi 55 tips bagaimana berpisah dari barang-barang. Jika itu belum cukup, ia memberi 15 tips tambahan menjalani pola hidup minimalis.
Seorang minimalis, misalnya, menganggap lingkungan luar rumahnya sebagai "miliknya". Untuk menikmati sofa yang nyaman dan interior yang menawan, ia pergi ke kafe favoritnya. Toko yang menjual barang-barang dianggapnya gudang. Bila butuh sabun atau sampo, ia pergi ke "gudang" mengambilnya.
Fumio Sasaki menulis buku Goodbye, Things sambil mempraktikkan bagaimana seorang minimalis menulis buku. Ia menulis di laptopnya. Bahan-bahan tulisan ia simpan di Dropbox, aman dan tak makan tempat.
Hingga saat ini ia tinggal di apartemen kecil di Tokyo dengan tiga kemeja, empat celana panjang, empat pasang kaus kaki, dan sedikit benda lainnya. Fumio Sasaki bisa menjalaninya. Seharusnya kamu juga bisa. Berani mencoba menjadi minimalis?