Muslimahdaily - Klasik, tradisional dan merakyat, demikian ciri Masjid Pekojan yang berada di Kota Semarang, Jawa Tengah. Fisik bangunan masjid tak beda jauh dari masjid kuno pada umumnya di tanah Jawa. Kendati demikian, usia masjid ini telah lebih dari 200 tahun.
Pasak kayu jati dan lantai marmer membuat masjid ini nampak kuno namun terawat dengan baik. Halamannya cukup luas ditambah sebuah kompleks makam yang tak dipuja berlebih. Terdapat pahatan kayu jendela yang polanya sangat identik dengan masjid-masjid tua, yakni pola bunga. Pahatan berbentuk binatang dan makhluk hidup memang tak pernah ditemui masjid-masjid tua yang dibangun para pendatang baik Gujarat, Arab, ataupun yang lainnya.
Masjid Pekojan Semarang yang berdiri sejak abad ke-18 tersebut memang lah dibangun oleh pendatang etnis Koja. Mereka merupakan salah satu etnis muslim di India yang datang dari Gujarat. Melalui jalur perdagangan, etnis Koja yang didominasi Kasta Ksatria itu datang ke nusantara. Namun bukannya kembali ke tanah kelahiran di Pantai Barat India, mereka justru memilih tinggal dan berbaur dengan warga pribumi.
Sayangnya, saat tiba di Semarang, warga Pribumi menjaga jarak dengan mereka. Untuk mengatasi hal tersebut, dibuatlah sebuah tradisi yang ditujukan untuk mengumpulkan warga asli pribumi dengan pendatang Koja. Mereka para etnis Koja membuat bubur yang biasa mereka buat di tanah India. Bubur tersebut kemudian dibagikan secara gratis di Bulan Ramadhan. Saat waktu berbuka, baik pendatang Koja maupun pribumi menyantap bersama-sama bubur India tersebut di Masjid Pekojan. Hubungan campur baur pendatang dan pribumi pun berjalan harmonis.
Tradisi bubur India yang memiliki usia sama sejak masjid dibangun tersebut masih berlangsung hingga kini. Setiap sore di bulan Ramadhan, Masjid Pekojan dipenuhi muslimin yang ingin mencicipi bubur India yang legendaris itu. Mereka yang datang tak hanya warga Semarang melainkan para pelancong maupun warga kota lain sekitar Semarang.
Tak ada yang istimewa dari penampilan bubur India, layaknya bubur beras pada umumnya namun berwarna lebih pekat. Hal yang spesial dari bubur tersebut adalah rasanya yang lezat dan tak pernah berubah dari masa ke masa. Aroma rempah-rempah yang kuat dari bubur sangat lah menggoda. Apa rahasia rempah-rempah tersebut, hanya etnis Koja yang tahu. Tugas juru masak bahkan diwariskan turun temurun sejak tradisi ini ada. Saat ini sang koki, Mbah Mu’in, merupakan generasi keempat.
Menurut Mbah Muin, resep bubur India yang legendaris itu sangat lah mudah. Selain bahan utama beras dan santan, bumbu yang digunakan di antaranya ialah jahe, lengkuas, serai, daun salam, daun pandan, kayu manis, wortel, bawang merah dan bawang putih serta sayur mayur. Namun jika kita mencoba resep itu di dapur, entah mengapa rasanya tak sama seperti yang dibagikan gratis di Masjid Pekojan.
Setiap harinya selama bulan Ramadhan, tim Masjid Pekojan dapat menghabiskan 20 kilogram beras untuk membuat bubur India tersebut. Jangan tanya seberapa besar panci yang digunakan untuk memasak. Ukurannya sangat besar hingga sulit dikira. “Per hari 20 kilogram. Sekitar 150 hingga 200 mangkok dibagikan tiap hari selama bulan Ramadhan, “ ujar Takmir Masjid Pekojan, Ali Baharun.
Menyantap takjil bubur India sembari menikmati guratan-guratan tua Masjid Pekojan cukup membuat daya tarik tak terkira. Ukhuwah Islamiyah pun sangat terasa dengan menyantap buka puasa bersama-sama, duduk berbaris di pelataran masjid. Tradisi Bubur India ini rupanya telah mencapai tujuannya, yakni mempererat hubungan persaudaraan muslimin tanpa melihat etnis dan asal muasal.