Menelisik Tradisi Perayaan Tahun Baru

Muslimahdaily - Saat Rasulullah hijrah dan tinggal di Kota Madinah, beliau pernah dikejutkan dengan sebuah perayaan yang dihelat warga setempat. Perayaan ini telah menjadi adat turun temurun dan dilakukan setiap tahun. Inilah perayaan awal tahun yang sekarang kita kenal dengan malam tahun baru. Lalu, bagaimana Rasulullah menanggapi perayaan tersebut?

Di era jahiliyyah, masyarakat Arab mengenal hari perayaan di mana mereka berpesta ria dan bersuka cita. Hari raya Nairuz, demikian mereka menamai perayaan tersebut. Nairuz merupakan hari pertama di awal tahun matahari. 

Nairuz sudah diperingati di kawasan Timur Tengah sejak dahulu kala. Perayaan itu dipelopori oleh bangsa Persia dari kalangan Majusi (penyembah api). Salah satu raja mereka, Jamsyad, yang menghelat perayaan tersebut pertama kali. 

Membeo Majusi, bangsa Yahudi pula memiliki tradisi perayaan tahun baru. Perayaan ini bahkan menjadi hari raya mereka dan disebut dengan Ra’su Haisya yang artinya hari raya di penutup bulan. Perayaan ini sangat diagungkan bangsa Yahudi. Jika dibandingkan dalam tradisi Islam maka Ra’su Haisya bagi Yahudi layaknya Idul Adha bagi muslimin.

Setelah Majusi dan Yahudi, Nashara pun tak mau ketinggalan. Perayaan tahun baru diikuti pula oleh mereka penganut Nasrani. Sebagaimana dua agama sebelumnya, Nashrani pula merayakan tahun baru dengan beragam keyakinan dan menjadikannya hari yang sangat spesial.

Dengan sejarah tradisi yang panjang itu, tak heran jika muslimin kemudian turut merayakannya. Sejak kecil, mereka bersama orang tua dan kakek-nenek selalu melakukan perayaan tahun baru. Ketika Islam datang, kebiasaan itu pun masih melekat kuat.

Namun Rasulullah kemudian mengambil sikap. Beliau bersabda kepada masyarakat Madinah yang terbiasa melakukan perayaan tahun baru, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari itu dengan yang lebih baik, yakni hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri,” (HR. Abu Dawud).

Tentu Islam adalah agama yang spesial dan berbeda. Agama ini adalah agama baru sekaligus agama penyempurna. Jika ada kebiasaan baik masyarakat, maka Islam memberi panduan lengkap agar menjadikannya sebagai amalan. Pun jika hendak menghapus suatu kebiasaan masyarakat, maka Islam menggantinya dengan yang lebih baik. 

Sejak Rasulullah mengakhiri tradisi perayaan tahun baru, muslimin pun menuruti dan tak lagi turut merayakannya. Tradisi lama itu benar-benar terhapus dan tak ada lagi seorang pun dari kalangan muslimin yang menjadikan awal tahun baru sebagai hari raya. Apalagi setelah Rasulullah memberi peringatan mengenai bahaya mengikuti jejak kaum terdahulu.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalian benar-benar akan mengikuti jalannya orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga jika mereka masuk ke lubang dhob (lubang biawak), maka kalian turut memasukinya.” Para shahabat pun bertanya, “Siapa yang engkau maksud ya Rasulullah, apakah Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka),” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Lalu, jika muslimin di era Rasulullah sudah menghapus tradisi perayaan tahun baru, mengapa muslimin kini kembali merayakannya? Entah sejak kapan tradisi itu kembali digandrungi muslimin. Bahkan hingga kini, termasuk di negeri ini, muslimin beramai-ramai merayakan malam tahun baru masehi. 

Padahal jika mengingat dua hadits rasul di atas, maka tradisi perayaan tahun baru seharusnya telah ditutup bahkan dilarang untuk kembali merayakannya. Pasalnya, jika muslimin merayakannya, maka berarti mengikuti jalan-jalan Yahudi dan Nasrani, bahkan Majusi. Padahal muslimin semestinya mengikuti Rasulullah dan mencontoh tiga generasi terbaik umat ini.

Tiga generasi Islam terbaik, yakni era Rasul, era Tabi’in dan era Tabi’ut Tabi’in tak pernah lagi melakukan tradisi perayaan tahun baru. Jika ingin bersuka cita, maka mereka melakukannya saat Idul Fitri dan Idul Adha. Cukuplah dua hari itu menjadi hari perayaan bagi muslimin.

 

Add comment

Submit