Muslimahdaily - Ajaran Islam tak hanya mewajibkan beragama bagi penganutnya, namun juga mewajibkan bernegara sebagai rakyat. Dalam Islam, beragama dan bernegara tak bisa dipisahkan.
Konsepnya ialah, tak ada agama kecuali adanya komunitas, dan tak ada komunitas kecuali adanya pemimpin, dan tak ada pemimpin kecuali adanya rakyat yang taat. Musliminlah sang rakyat dan sang penganut agama, yang memiliki kewajiban beragama dan bernegara.
Sesungguhnya agama Islam telah menjelaskan dengan sangat terang tentang kewajiban muslimin sebagai rakyat. Syariat telah menjabarkan tentang interaksi rakyat dan pemimpin sehingga terjalin hubungan baik dalam bernegara. Interaksi bernegara ini termasuk dalam ayat tentang ta’awun, yakni Allah Ta’ala berfirman,
“Dan tolong-menolonglah dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan,” (QS. Al Maidah: 2).
Dari situlah kemudian ada kewajiban muslimin sebagai rakyat. Meski telah menjadi muslim yang baik dalam beragama, seseorang tak bisa dianggap baik agamanya jika tak menjalankan kewajibannya bernegara. Berikut di antara kewajiban muslimin dalam bernegara.
1. Mendoakan Pemerintah
Kewajiban mendoakan pemerintah berlaku dalam segala keadaan, baik pemerintah itu baik ataupun jahat, saleh ataupun bejat, baik ataupun zalim, jujur ataupun berkhianat. Sejatinya, mendoakan pemerintah justru bagian dari pendekatan diri kepada Allah, serta mengharap kebaikan dari-Nya. Sebagaimana fatwa dari Syekh Abdul Aziz bin Baz. Beliau berkata,
“Mendoakan pemerintah termasuk pendekatan diri yang agung kepada Allah dan seutama-utama ketaatan serta termasuk bagian nasihat untuk Allah dan hamba-Nya.”
Karena Alan itulah, muslimin hendaknya selalu mendoakan pemerintah. Sesungguhnya aman tidaknya negeri, makmur tidaknya negara, semuanya dari Allah melalui tangan pemerintah. Bahkan Allah memberikan kebaikan yang banyak pada suatu kaum yang memiliki pemimpin terlepas keadaan pemimpin tersebut. Seperti ucapan Al Hasan Al Bashri,
“Demi Allah, agama tidak akan lurus kecuali dengan adanya pemerintah meskipun jahat dan zalim. Demi Allah, kebaikan yang Allah berikan dengan adanya mereka (pemerintah) jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang mereka rusak.”
2. Menghormati Pemimpin
Menurut Imam Sahl bin Abdullah At Tustari, ada dua jenis manusia yang berhak dihormati dan dimuliakan. Mereka adalah pemerintah dan ulama. Jika muslimin tak lagi menghormati keduanya, maka ancamannya bukan hanya di dunia, namun juga di akhirat. Berikut ucapan At Tustari dalam As Sunnah lil Imamal-Khallal,
“Manusia akan tetap baik (keadaannya) selama mereka memuliakan pemerintah dan ulama. Jika mereka memuliakan keduanya, maka Allah akan memperbaiki keadaan dunia dan akhiratnya. Sebaliknya, jika mereka meremehkan keduanya, maka Allah akan merusak dunia dan akhiratnya.”
Menghormati pemimpin di antaranya dengan tidak mencela dan menghinanya, serta tidak merendahkannya di hadapan manusia. Jika ingin memberi kritik atas kesalahan pemimpin, maka lakukan dengan nasihat yang baik. Tentu para ulama dan para pakar lah yang berkompeten memberikan nasihat kepada pemimpin.
3. Ta’at Kecuali Dalam Perkara Maksiat
Menaati aturan negara yang dibuat pemerintah juga bagian dari kewajiban muslimin. Hanya saja perlu digaris bawahi bahwa aturan yang ditaati hanyalah yang tidak bertentangan dengan syariat. Jika pemerintah menyuruh pada maksiat atau larangan Allah, maka dilarang untuk ditatai. Adapun jika pemerintah menyuruh pada kebaikan yang juga diperintahkan Allah, tentulah harus ditaati.
Lalu bagaimana jika ada aturan pemerintah yang menyuruh pada perkara yang tidak disebutkan syariat? Jika perkara tersebut tak diperintahkan namun juga tak dilarang syariat, maka muslimin pun wajib menaatinya. Ketaatan ini tidak didasarkan rela tidak rela, suka tidak suka. Sebagaimana dalil-dalil yang menyebutkan tentang kewajiban taat pada pemimpin.
Allah berfirman,“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemimpin) di antara kalian.” (QS. An Nisaa: 59)
Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda, “Siapa yang taat kepadaku, berarti dia taat kepada Allah. Siapa yang bermaksiat kepadaku, berarti dia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa yang taat kepada pemimpin, berarti dia taat kepadaku. Siapa yang bermaksiat kepada pemimpin, berarti dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain yang juga datang dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Hendaknya engkau tetap mendengar dan taat kepada pemimpin dalam keadaan susah ataupun senang, dalam keadaan rela ataupun terpaksa, bahkan sekalipun dalam keadaan dia bertindak sewenang-wenang terhadap kalian.” (HR. Muslim)
Rasulullah juga pernah bersabda, “Mendengar dan taat kepada pemimpin menjadi kewajiban atas seorang muslim, dalam hal yang disenangi ataupun dibenci, selama pemerintah itu tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Namun, jika menyuruh kepada kemaksiatan, tidak ada sikap mendengar dan taat.” (HR. Al Bukhari)
Sebagai penutup, ingatlah selalu nasihat Umar bin Khaththab yang telah disebutkan di awal. Beliau Rhadiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada Islam tanpa ada jamaah (komunitas), tidak ada jamaah tanpa ada pemimpin, dan tidak ada pemimpin tanpa ada ketaatan.” Allahu ta’ala a’lam.
Sumber: Majalah Asy Syariah Edisi 84.