Muslimahdaily - Wanita memang tak perlu mengganti atau menqadha shalat yang ditinggalkan saat haid. Namun terdapat kondisi tertentu di mana wanita diharuskan mengganti shalat yang tertinggal ketika datang bulan. Kondisi apa itu? Pernahkah kamu mengalaminya? Berikut penjelasannya.
Seorang wanita wajib mengqadha shalat jika ia menunda shalat di akhir waktu namun ketika hendak shalat ternyata ia mengalami haid. Artinya, ia datang bulan sebelum menunaikan saat wajib sehingga wajib mengqadhanya. Hal ini dikarenakan ia menunda shalat hingga akhir waktu hingga datang haid padanya.
Ini berlaku jika si wanita menunda-nunda shalat tersebut. Adapun jika ia tak sengaja melalaikannya, maka tak wajib qadha atasnya. Banyak ulama yang sepakat atasnya, namun terdapat silang pendapat tentang batas waktu kapan seorang wanita dikatakan menunda shalat hingga mendapati haidnya tiba.
1. Mazhab Imam Ahmad
Menurut pendapat mazhab Ahmad, kadar waktunya hingga seseorang cukup melakukan takbiratul ihram. Misalnya, seseorang menunda shalat dzuhur lalu begitu takbiratul ihram, terdengar adzan Ashar. Ia dianggap mendapat waktu shalat dzuhur karena sempat melakukan takbiratul ihram. Ia tak dihukumi meninggalkan shalat dzuhur.
Alasannya, shalat merupakan rangkaian kesatuan yang utuh dan tak bisa dipisahkan. Jika mendapati awalannya, yakni takbiratul ihram, maka seseorang dikatakan mendapati shalatnya. Ini merupakan pendapat yang terkenal dari mazhab Ahmad.
Karena itulah dalam kasus wanita haid. Jika ia mengalami haid dan belum melaksanakan shalat, maka hanya wajib mengqadhanya jika melewati batas waktu untuk takbiratul ihram sebelum datang waktu shalat berikutnya.
2. Mazhab Imam Syafi’i
Batas waktu menurut mazhab syafi’i yakni satu rakaat shalat. Jika seseorang menunda shalat lalu mendapati satu rakaat sebelum waktu shalat berikutnya datang, maka seseorang dikatakan mendapati waktu shalat. Ia tak dihukumi meninggalkannya.
Pendapat ini berdasarkan dalil umum sabda nabi, “Barang siapa mendapati satu rakaat dari suatu shalat, berarti ia telah mendapati shalat tersebut.” (HR. Muttafaqun alaih).
Namun itu adalah pendapat sebagian ahli fiqh mazhab Syafi’i. Sebagian ahli fiqh lain dari mazhab yang sama, berpendapat batas waktunya adalah shalat utuh dari awal sampai akhir.
Bahkan menurut pendapat ini, dalam kasus wanita haid, terdapat dua kondisi kapan wanita haid harus mengganti shalatnya. Pertama, ia wajib mengqadha shalat yang diakhirkannya dan mendapati haid dalam ukuran waktu satu shalat utuh sebelum asuh shalat berikutnya. Kedua, ia pun wajib mengqadha ketika di akhir haid ia mendapati telah suci di batas waktu tersebut.
Untuk mempermudah, berikut contoh yang mudah dipahami.
Kondisi pertama: si A menunda shalat magrib dan baru akan melaksanakannya di batas akhir waktu. Yakni ia sempat shalat 3 rakaat utuh sebelum datang waktu isya. Namun sebelum shalat, ternyata ia merasakan atau mendapati darah haid keluar. Si A pun tak dapat shalat magrib karenanya. Maka ia dihukumi wajib mengqadha atau mengganti shalat magrib yang ia tinggalkan tersebut ketika suci nanti. Meski nantinya suci saat siang, ia pun harus segera mengganti shalat magrib yang ditinggalkan tanpa perlu menunggu waktu maghrib.
Kondisi kedua: si B dalam kondisi haid di hari terakhirnya. Namun ternyata ia telah suci di waktu akhir shalat Dzuhur. Artinya, ia suci sesaat sebelum datang waktu Ashar. Sesaat di sini dalam ukuran dapat menunaikan shalat 4 rakaat. Namun ternyata si B mendapati adzan Ashar begitu mandi wajib usai. Dengannya, si B wajib mengganti shalat dzuhur dengan mengqadhanya bersama shalat Ashar.
Contoh tersebut bagi mereka yang mengikuti pendapat mazhab syafi’i yang membatasi satu rakaat penuh. Jika mengikuti pendapat lain mazhab syafi’i, maka batas waktunya adalah satu rakaat shalat. Adapun jika mengikuti mazhab Ahmad, maka batasnya satu takbiratul ihram. Demikian semoga dapat dipahami. Wallahu a’lam bishshawab.