Muslimahdaily - Bagi sebagian perempuan, tak ada pertemuan tanpa membicarakan orang lain. Hal ini kemudian merupakan lumrah dan akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Tak jarang kita menyebutnya sebagai ghibah.
Ghibah atau menggunjing adalah membicarakan orang lain saat dirinya tidak berada di tempat dan yang dibicarakan merupakan hal aib yang tidak ia sukai diketahui oleh orang lain.
Pada dasarnya, ghibah adalah perbuatan tercela dan hendaknya dijauhi. Akibat dari melakukan ghibah ialah dosa. Pada sebuah Dalil dijelaskan bahwa melakukan ghibah seperti diibaratkan memakan daging saudaranya yang sudah mati.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12).
Namun, dalam beberapa keadaan, perbuatan ini diperbolehkan karena adanya kepentingan-kepentingan teretentu yang hendak dituju.
Dalam hal ini Imam an-Nawawi Rahimahullah menyebutkan ada enam keadaaan yang mana seorang muslim boleh mengghibahkan orang lain:
“Ketahuilah, ghibah–sekalipun diharamkan–dibolehkan dalam beberapa kondisi tertentu untuk suatu kemaslahatan. Hal yang membolehkan ghibah adalah sebuah tujuan yang dibenarkan menurut syar’i di mana tujuan tidak tercapai tanpa ghibah tersebut. Hal itu adalah satu dari enam sebab.”
Pertama, mengadu tindak kezaliman kepada pengusaha atau pada pihak yang berwenang. Misalnya seseorang menceritakan kezaliman yang ia alami kepada hakim di suatu sidang perkara.
Kedua, meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar.
Ketiga, meminta fatwa pada seorang mufti, yaitu ulama yang memiliki kewenangan untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat. Seseorang diperbolehan untuk menceritakan suatu masalah atau ‘aib orang lain agar diperoleh gambaran yang jelas sehingga mufti dapat mengeluarkan fatwa. Namun, jika penyebutan nama secara personal tidak dibutuhkan, alangkah lebih baik tidak mengambil jalan ghibah.
Keempat, mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang parawi hadits sehingga isi hadits menjadi bermasalah.
Kelima, membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah yang ia lakukan, seperti meminum khamar, mengambil harta secara zalim, atau menerapkan kebijakan-kebijakan yang batil. Maka kita boleh membicarakan keburukan yang nampak. Namun, tetap tidak diperbolehkan untuk menggibahkan perbuatan yang tidak nampak.
Keenam, menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun, jika ada ucapan bagus, maka hendaknya disebut dengan yang baik itu.
Dalam hal ini, Imam Nahrawi menekankan poin keenam diperbolehkannya ghibah dengan niat identifikasi, bukan merendahkan. Beliau juga menyarankan untuk menggunakan identifikasi lain selain identifikasi fisik untuk orang lain.