Muslimahdaily - Menikah merupakan salah satu sunnah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Allah berfirman, “Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan...” (QS. Ar-Ra’d: 38).
Selain mengikuti sunnah Rasulullah, menikah juga memiliki beberapa faedah diantaranya adalh melaksanakan perintah Allah, mencegah zina dan memelihara kehormatan kaum perempuan, memperbanyak keturunan shalih dan shalihah serta memperoleh pahala dari hubungan seksual yang halal.
Namun, ternyata ada 4 jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam. Berikut penjelasannya, dikutip dari buku Fiqih Sunnah Wanita karya Abu Malik Kamal.
1. Nikah Syighar
Jika seorang laki-laki menyerahkan anak atau saudara perempuannya untuk dinikahi oleh lelaki lain dengan syarat lelaki itu juga menyerahkan anak atau saudara perempuannya untuk ia nikahi, baik dengan mahar maupun tidak, maka praktik pernikahan itu disebut nikah syighar.
Nikah syighar hukumnya haram. Adanya syarat pertukaran membuat pernikahan itu batal. Nikah tersebut menimbulkan bahaya besar karena pihak perempuan cenderung dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya demi kepentingan wali. Bahakn terkadang perempuan mendapatkan mahar yang tidak layak.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam melarang nikah syighar. Nikah syighar terjadi apabila seseorang mengucapkan,
“Nikahlah anak perempuanmu dengnku dan akan kunikahkan anak perempuanku denganmu,” atau, “Nikahkah saudara perempuanmu deganku, maka aku akan menikahkah saudara perempuanku denganmu.”
Rasulullah bersabda, “Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” (HR. Muslim).
Nikah syighar telah menetapkan syarat tertentu dalam pernikahan tidak sesuai dengan tuntunan Al-Quran.
“Barangsiapa mensyaratkan sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Quran, maka syarat-syarat tersebut batal. Meski ia menetapkan seratus syarat, hanya syarat yang ditetapkan Allahlah yang paling layak dipercaya dan dijalankan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Nikah Muhallil
Jika seseorang lelaki menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga selesai masa idahnya, kemudian ia menceraikannya agar perempuan tersebut bisa dinikahi kembali oleh suami pertamanya, maka itulah yang disebut dengan nikah muhallil.
Perbuatan ini haram hukumnya dan termasuk dalam dosa besar. Pelakunya akan dilaknat oleh Allah. Demikian pula suami pertama yang meminta orang lain menikahi istrinya dengan cara muhallil.
Hal tersebut sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud,
“Rasulullah melaknat orang yang melakukan nikah muhallil serta suami yang menyuruh orang itu melakukan nikah muhallil.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Bahkan Umar Ibnul Khaththab berkata bahwa ia akan merajam orang yang melakukan nikah muhallil.
“Jika aku bertemu dengan orang-orang yang melakukan nikah muhalil serta suami yang menyuruh orang itu melakukan nikah muhallil, maka pasti kurajam keduanya.” (HR. Abdurrazzaq dan Sa’id ibnu Manshur).
3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah terjadi apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan batas waktu tertentu, baik satu hari, dua hari atau lebih dan dengan menyerahkan imbalan berupa uang maupun sesuatu yang lain.
Pada awalnya nikah mut’ah dihalalkan oleh Rasulullah, namun hal itu kemudian diharamkan selamanya sampai hari kiamat nanti. Hadist tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan Baihaqi.
Sabrah al Juhani meriwayatkan hadist berikut, membahas tentang nikah mut’ah,
“Ketika kami memasuki kota Mekah dalam peristiwa fat-hu-Makkah, Rasulullah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah. Dan sebelum kami keluar dari Mekah, beliau sudah melarang kamu melakukannya.” (HR. Muslim).
4. Nikah Urfi’
Nikah urfi’ ini mungkin banyak terjadi di kalang anak muda. Semisal, ada seorang pemuda menjalin hubungan dengan pemudi tanpa diketahui orang lain. Mungkin hanya teman-teman dekatnya yang mengetahui hal ini. Akhirnya mereka melangsungkan akad nikah di apartemen hanya untuk menghalalkan hubungan seksual.
Saat itu hanya ada mereka berdua dan teman-temannya sebagai saksi, dan akad nikahnya hanya berupa perjanjian di atas kertas. Setelah itu, sang pemudi pulang ke rumah orang tuanya seperti tak terjadi apa-apa.
Praktik pernikahan ini tidak sah. Bahkan termasuk perbuatan zina, karena sudah jelas tidak memenuhi syarat penting dari pernikahan. Yaitu adanya wali dari pihak perempuan.
Al-Quran dan sunnah sudah beberapa kali mengingatkan bahwa dalam pernikahan harus ada wali.
“...Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum merek beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu...” (Qs. Al-Baqarah:221).
Rasulullah bersabda, “Tidak sah pernikahan yang dilangsungkan tanpa wali.” (HR.Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Beliau juga bersabda,
“Setiap perempuan yang menikah tanpa izin wali-walinya maka pernikahan itu batal.” Rasulullah mengungkapkan ucapan itu tiga kali. ‘Dan perempuan tersebut berhak memperoleh maharnya. Jika para wali itu berselisih, maka penguasa adalah wali bagi siapa pun yang tidak memiliki wali,” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Wallahu a'lam.