Muslimahdaily - Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam adalah Isra Mi’raj. Pada saat itu Rasulullah bersama malaikat JIbril mengendari buroq untuk melakukan perjalanan dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yesrusalem, kemudian dilanjutkan menuju langit ke Sidratul Muntaha. Perjalanan ini terjadi pada 621 M.
Melalui perjalanan ini, Rasulullah menerima sejumlah wahyu, di antara adalah perintah shalat lima waktu. Pada perjalanan ini juga Rasulullah bertemu dengan Allah dan berdialog. Kemudian dialog tersebut dijakan sebagai bacaan tahiyat akhir dalam shalat.
Dalam sebuah hadits yang disebutkan dalam Kitab Syarh Kasyifah as-Saja bahwa saat itu Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dan malaikat Jibril melewati Sidratul Muntaha. Tempat tersebut diliputi oleh awan yang di dalamnya memancar kilauan cahaya yang berwarna-warni. Malaikat Jibril memilih berehnti dan membiarkan Nabi Muhammad berjalan sendiri.
Tahu bahwa dirinya tak lagi didamping, Rasulullah pun berkata, “Jangan tinggalkan aku seorang diri.”
Kemudian Malaikat Jibril menjawab, “Tidak ada daya dan kekuatan bagi kamu, sebab Dia (Allah) memiliki tempat tertentu dan khusus yang tidak bisa kami lalui.”
Rasulullah berkata lagi, “Ayo kita jalan lagi bersama-sama meskipun hanya demi setapak.”
Malaikat Jibril dan Rasulullah akhirnya berjalan bersama setapak demi setapak. Tak lama kemudian, Malaikat Jibril hampir terbakar oleh pancaran cahaya, keagungan, dan kemuliaan. Ia lalu mengecil seperti burung pipit dan menjadi lemah.
Rasulullah dan Malaikat Jibril sampai di maqam khitab, yakni tempat pertemuan antara Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah Shallalalhu’alaihi wa sallam. Perlu ditekankan bahwa tempat ini bukanlah tempat Allah berada karena Allah sesungguhnya tidak membutuhkan tempat.
Percakapan Allah dengan Rasulullah
Setelah sampai, Malaikat Jibril mengisyaratkan kepada Rasulullah untuk mengucapkan salam. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa awalnya Rasulullah sempat bingung hingga akhirnya Allah mewahyukan salam yang tepat yakni, “at-taḥiyyât al-mubârakât aṣ-ṣalawât aṭ-ṭayyibât lillâh (seluruh kehormatan, keberkahan, rahmat, dan kebaikan adalah sepenuhnya milik Allah).”
Kemudian Allah langsung menjawab salam tersebut dengan berkata, “as-salâm ‘alaika ayyuhâ an-nabiyyu wa raḥmatullâh wa barkâtuh (kesejahteraan, kasih-sayang, dan keberkahan Allah untukmu, wahai Nabi).”
Kemudian Rasulullah menjawab lagi, “as-salâm ‘alainâ wa ‘alâ ‘ibâdillâh aṣ-ṣâliḥîn (kesejahteraan atas kami dan hamba-hamba Allah yang saleh).” Rasulullah ingin hamba-hamba Allah yang shaleh juga mendapat bagian dari pertemuan agung tersebut.
Percakapan tersebut didengar oleh seluruh penguhun langit dan bumi, mereka sama-sama berkata, “Asyhadu an lâ ilâha illallâh wa asyhadu anna muḥamadar rasûlullâh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah).”
Dalam Maqasid Al Ibadat yang ditulis oleh Imam Al ‘Izz bin Abd as-Salam menjelaskan bahwa kalimat at-taḥiyyât al-mubârakât aṣ-ṣalawât aṭ-ṭayyibât lillâh dan asyhadu an lâ ilâha illallâh berhubungan dengan Allah. Sementara itu kalimat as-salâm ‘alaika ayyuhâ an-nabiyyu wa raḥmatullâh wa barkâtuh dan asyhadu anna muḥamadar rasûlullâh berhubungan dengan Rasulullah.
Lebih lanjut, kalimat as-salâm ‘alainâ wa ‘alâ ‘ibâdillâh aṣ-ṣâliḥîn berhubungan dengan hamba-hamba Allah yang shaleh dari penduduk bumi dan penduduk langit. Dari sini tergambar bahwa memang ibadah shalat syarat akan hubungan secara langsung antara hamba, Allah, Rasulullah, dan seluruh hamba-Nya yang shaleh yang ada di langit dan bumi.
Sungguh bagi mereka yang benar-benar khusyuk dan meresapi bacaan tahiyat akhir, akan merasakan keagungan dan keindahan Allah berserta seluruh ciptaan-Nya.
Wallahu ‘alam bis shawab.
Sumber: Bincang Syariah