Muslimahdaily - Salah satu jalan menuju pernikahan adalan dengan perjodohan. Dalam Islam sendiri, tidak ada dalil tertentu yang mengharuskan atau melarang dilakukannya perjodohan. Oleh karenanya tak jarang, orang tua sengaja menjodohkan anaknya dengan anak orang lain.

Pada kenyataannya, perjodohan yang dilakukan oleh orang tua sering kali dibangun atas dasar paksaan. Orang tua merasa calon jodoh untuk anaknya merupakan orang yang layak dan cocok sehingga akhirnya memaksa anaknya untuk menikah.

Padahal perjodohan sebaiknya tidak dilandasi dengan paksaaan. Orang tua, sebagai pihak yang menjodohkan seharusnya meminta izin terlebih dahulu kepada anaknya ketika hendak menjodohkan.

Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh menikah seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya, ‘Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahi izinnya?’ Beliau menjawab, ‘Dengan ia diam.’” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas menunjukkan adanya hak bagi si perempuan untuk memilih. Sementara bagi orang lain termasuk orang tua, hendaknya meminta izin terlebih dahulu kepada si perempuan sehingga tidak ada pemaksaan di dalam prosesnya.

Lantas, apakah berdosa seorang anak jika menolak calon jodoh pilihan orangtuanya sehingga menjadikan dia anak yang durhaka?

Jawabannya adalah tidak durhaka dan berdosa. Pasalnya pilihan siapa jodohnya adalah hak murni seseorang.

Dari Abu Said Al Khudri, bahwa ada seseorang yang mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam dengan membawa putrinya. Orang ini mengatakan, “Putriku ini tidak mau menikah.” Nabi memberi nasihat kepada wanita itu, “Taati bapakmu.” Wanita itu mengatakan, “Aku tidak mau, sampai Anda menyampaikan kepadaku, apa kewajiban istri kepada suaminya.” (merasa tidak segera mendapat jawaban, wanita ini pun mengulang-ulangi ucapannya).

Kemudian Nabi bersabda, “Kewajiban istri kepada suaminya, andaikan di tubuh suaminya ada luka, kemudian istrinya menjilatinya atau hidung suaminya mengeluarkan nanah atau darah, kemudian istrinya menjilatinya, dia belum dianggap sempurna menunaikan haknya.”

Spontan wanita itu mengatakan, “Demi Allah, Dzat yang mengutus Anda dengan benar, saya tidak akan nikah selamanya.”

Kemudian Nabi berpesan kepada ayahnya, “Jangan nikahkan putrimu kecuali dengan kerelaannya.” (HR. Ibn Abi Syaibah).

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Buya Yahya dalam sebuah video yang diunggah di Youtube Channel Al Bahjah TV. Beliau mengatakan, “Kalau urusan agama, harus menolak seorang perempuan apabila agamanya enggak benar. Misalnya dia pemabuk, berjudi, nggak shalat dan bekerja di tempat yang haram, maka wajib menolak. Bukan saja boleh atau tidak boleh.”

Lebih lanjut lagi jika pernikahan terjadi atas dasar paksaan orangtuanya, maka status pernikahan tersebut dikembalikan kepada anaknya. Jika si anak ingin melanjutkan maka boleh dilanjutkan, namun bila ingin pisah maka diperbolehkan berpisah.

“Dari Ibn Abbas Radhiyallahu'anhu beliau menceritakan, “Ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan bahwa ayahnya menikahkannya sementara dia tidak suka. Kemudian Rasulullah memberikan hak pilih kepada wanita tersebut (untuk melanjutkan pernikahan atau pisah).” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibn Majah).

Wallahu 'alam.

Sumber: Bincang Syariah, Konsultasi Syariah, dan Youtube Al Bahjah TV.