Golput di Pilkada, Sebuah Pilihankah?

Muslimahdaily - Golongan putih (golput) tak pernah absen di setiap pemilihan umum. Alasan golput beragam, dari yang apatis hingga menolak demokrasi. Mereka memilih enggan turut dalam pesta akbar demokrasi daripada harus memilih salah satu calon pemimpin. Lalu, bagaimana pandangan Islam mengenai golput? Apa kita harus Golput untuk pilkada DKI Jakarta yang digelar Rabu (15/2) ini?

Sebagaimana diketahui, Islam memandang pilkada sebagai sebuah ketidak adilan. Mengapa? karena suara dalam pilkada sama rata dan sama nilai. Seorang ulama memiliki suara setara dengan seorang awam, seorang berpendidikan tinggi memiliki suara setara dengan yang buta huruf, seorang muslim memiliki suara yang setara dengan kafir, seorang yang saleh memiliki suara yang setara dengan ahli maksiat, dan lain sebagainya. 

Di masa shahabat, saat muslimin memilih pemimpin selepas wafatnya Rasulullah, dikumpulkanlah orang-orang yang kompeten di ruangan besar milik Bani Saa’idah. Di sana diputuskanlah Abu Bakr Ash Shiddiq menjadi khalifah penerus estafet kepemimpinan Rasulullah. Apa semua muslimin turut serta dalam pemilihan, jawabannya tidak. Hanya para shahabat yang memahami agama dengan baik lah yang hadir di sana.

Oleh karena itu, pada dasarnya sistem pemilihan demokrasi sangat bertentangan dengan Islam yang mengusung keadilan. Namun yang terjadi saat ini, sebagian besar negara muslim justru menerapkan sistem demokrasi tersebut, termasuk Indonesia. Menghadapi dilema tersebut, sebagian ulama masa kini membolehkan muslimin untuk turut serta memilih dalam pesta demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadi sebuah keterpaksaan dan demi memperkecil dampak mafsadat yang ditimbulkan.

“Mereka berpendapat seperti ini dalam rangka menghindari atau memperkecil kerusakan (yang lebih besar). Ini kalau keadaannya memaksa kita terjerumus ke dalam dua keburukan (jika kita tidak memilih). Adapun jika ada dua orang calon (pemimpin yang baik), maka kita memilih yang paling berhak di antara keduanya,” penjelasan Syekh Abdul Malik, sebagaimana dilansir konsultasisyariah.

Hanya saja, ada syarat yang harus dipenuhi muslimin jika memutuskan untuk turut serta dalam pemilu dan enggan golput. Syarat tersebut yakni kenalilah calon yang hendak dipilih dan pilihkan mereka yang memiliki kejelekan paling kecil. Mengenal dengan baik calon pemimpin yang hendak dipilih adalah syarat mutlak. Pasalnya, jika tidak mengenal sosok calon namun tetap memilihnya, maka seorang muslim akan terancam bahaya yang disebut dalam kitabullah.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36).

Jika seseorang tak mengetahui siapa di antara calon pemimpin, dalam kasus ini pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta), yang paling baik agamanya, maka golput adalah pilihan yang paling bertanggung jawab. Apalagi dalam hukum perundang-undangan negara kita, seorang yang golput tidaklah mendapat ancaman hukuman. 

Jadi, ikut memilih atau golput tergantung kapasitas kita dalam menilai paslon. Jika selama kampanye salah satu di antara mereka menunjukkan kriteria yang baik dan kita mengenalnya dengan baik pula, maka pergilah ke TPS dan coblos calon tersebut. Namun jika selama kampanye ternyata tak ada bayangan apapun tentang semua calon, bagaimana kepribadiannya dan agamanya, maka golput menjadi sebuah pilihan, mengingat kelak kita harus mempertanggung jawabkannya di akhirat. Selamat memutuskan.

Add comment

Submit