Catatan Perjalanan Relawan Gempa Aceh 2016

Muslimahdaily - Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No 24 Tahun 2007).

Ketika kejadian bencana terjadi menimpa suatu daerah maka naluri seseorang untuk membantu masyarakat terpapar bencana tersebut akan timbul.

Manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa merasa iba melihat kondisi kehidupan yang terganggu.

Pengalaman menjadi relawan akan menjadi kenangan yang mengharukan untuk kamu sendiri dan masyarakat yang kamu bantu. Begitu sampai di lokasi bencana hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mendaftarkan diri sebagai relawan pada pos komando utama yang dikepalai oleh kabupaten, kota atau provinsi.

Pendaftaran itu wajib untuk kamu lakukan setibanya di lokasi sebagai bentuk antisipasi jika suatu ketika terjadi bencana susulan atau hal lain yang tidak diinginkan. Maka pos komando akan menjadi pihak yang bertanggung jawab mengenai hal tersebut.

Ketika kita berada di lokasi bencana yang agak sensitif, kita harus berhati-hati dalam berkata dan berbuat. Banyak mata yang akan menyoroti kegiatan relawan mulai dari tokoh masyarakat, pemerintahan, sampai media.
Saya akan membagikan kisah dua puluh hari menjadi relawan gempa bumi di Pidie Jaya, Aceh.

Awal mula ada keraguan tentang lokasi yang begitu jauh di sebuah kota yang terletak di ujung negeri ini. Meskipun beberapa kali menjadi relawan namun belum pernah berpengalaman untuk sampai menyebrangi pulau Jawa.

Waktu untuk pertimbangan kesiapan terjun menjadi relawan cukup satu hari. Saya sadar bencana tak pernah memilih dan tak pernah bisa dipilih kapan waktu tiba dan berakhirnya. Setelah kurang dari satu hari berpikir, oke saya siap menjadi tim respon yang akan diterjunkan ke lokasi gempa di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.

Kampus pada saat itu ramai pemberitaan mengenai berita duka yang dialami negeri serambi mekah itu. Kampus saya ialah kampus islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya yang tergabung ke dalam organisasi intra kampus yang berlatar belakang pecinta lingkungan hidup dan kemanusiaan KMPLHK RANITA, sudah barang pasti akan merespon kejadian-kejadian bencana di Indonesia maupun isu kemanusiaan global.

Bentuk responnya beragam, khususnya pada gempa Aceh kali ini kita mengambil fokus pada masa pasca tanggap darurat yaitu rekonstruksi bangunan.

Saya berangkat dengan dua orang laki-laki. Kami bertiga pergi di tanggal 11 Desember 2016. Melaporkan diri sebagai relawan di Posko Utama di Kabupaten Biereun, Pidie Jaya, Aceh. Posko dibawah pemerintahan provinsi.

Banyak bantuan tersusun rapi disana untuk didistribusikan secara merata. Aceh memiliki riwayat bencana terbesar yaitu Tsunami 2004 yang menyadarkan pemerintah untuk membuat sebuah Badan Nasional Penanggulangan Bencana di tahun 2006. Sehingga bantuan dari negara lain pun berdatangan seperti Australia, Singapura, dll.

Bermain sambil memberikan edukasi melalui ilmu psikososial kepada anak-anak. Tidak semua orang tua mengizinkan kami untuk bermain dengan anak-anak mereka. Trauma masih begitu kental dirasa. Selama 10 hari listrik padam di daerah pusat gempa.

Siang hari mereka membersihkan puing reruntuhan sembil mencari harta benda yang tertinggal. Ada hal yang begitu unik, di daerah terdampak tersebut masyarakat tidak mendirikan pos pengungsian. Jadi masing-masing membuka tenda di depan rumahnya dengan kebutuhan alas tidur dsb.

Kami berjalan kaki menyusuri satu desa yang menjadi jalur utama gempa dengan dampak terbesar. Hati ini tak kuasa menahan haru walaupun tidak semua warga dapat lancar berbahasa Indonesia, dari raut wajah dan sorot matanya terlihat kesedihan mendalam akan kehilangan sanak saudara dan harta benda.

Setelah dua minggu masa tanggap darurat berakhir, kami menemukan sebuah meunasah yang runtuh pondasinya dan beberapa tiang dan lantainya rusak. Meunasah adalah sebuah majelis untuk tempat mengaji dan balai pertemuan warga.

Rekonstruksi bangunan dibantu oleh sebuah lembaga yaitu Habitat yang diisi oleh arsitektur profesional yang bekerja untuk membangun rumah-rumah tahan bencana.

Butuh waktu selama satu bulan lebih untuk menyelesaikan bangunan meunasah tersebut dengan seorang ulama yang memerantarai kami dalam penyelesaian meunasah sepulangnya kami ke Jakarta.
Banyak kebaikan yang saya rasa selama di Aceh. Seseorang yang baru ditemui pun tanpa menaruh rasa curiga berilah kesan sopan santun, terlebih kita adalah pendatang maka kebaikan akan kita dapatkan dengan seizin Allah.

Kami tinggal di sebuah rumah nenek yang tinggal sendiri disana. Dari banyak orang yang saya temui begitu banyak Allah memberikan nikmat untuk saya dan teman seperjuangan disana diantaranya ditraktir makan, diberi tumpangan rumah dan kendaraan, diajak berkeliling kota, diberi banyak ilmu dan pengalaman hidup yang membuat saya rindu dan selalu ingin membalas kebaikan mereka semua.

Add comment

Submit