Muslimahdaily – Mendaki gunung sudah menjadi tren saat ini. Bahkan, hobi ekstrem satu ini tidak hanya digemari kaum adam tetapi juga perempuan. Apalagi, saat munculnya film 5 cm yang mengisahkan anak-anak muda melakukan kegiatan mendaki gunung. Gunung-gunung di seluruh Indonesia tiba-tiba dipenuhi dengan pemuda, remaja bahkan anak-anak yang ingin mencicipi kegiatan outdoor ini.
Kegiatan mendaki ini pada akhirnya membentuk banyak komunitas para pendaki di setiap daerah Indonesia. Termasuk salah satunya adalah Komunitas Pendaki Muslim (KPM). Apakah bedanya dengan komunitas lainnya yang serupa?
“Syiar dan dakwah dalam kegiatan KPM merupakan ciri khas identitas, kami berupaya memberikan keteladanan dalam hal menjaga akidah dan ibadah menjadi seruan dalam setiap langkah kegiatan kami,” tutur Dean Abu Hawa sebagai komandan KPM.
Komunitas ini bermula saat terjadinya erupsi gunung Merapi pada tahun 2009. Pada saat itulah awal perjumpaan beberapa aktifis kelestarian lingkungan dan pegiat alam berbasis muslim dari berbagai daerah. Misalnya, seperti daerah Jabodetabek, Bandung, Jogjakarta, Solo, Kebumen, Sumbar, Semarang, Malang, Poso, dan daerah lainnya.
Mereka sebagai relawan ikut turun aksi dalam membantu para korban terdampak erupsi gunung Merapi. Para relawan membantu dengan ikhlas tanpa membawa bendera apa pun.
Lalu, beberapa posko lembaga dakwah di sekitar gunung merapi memberikan ruang posko mereka untuk tempat koordinasi para relawan pendaki tersebut. “Hadirnya kami yang dilatar belakangi hobi sama dan diselingi kegiatan syiar Islam, maka beberapa masyarakat menyebut kami “syiar pendaki muslim”,” jelas Dean.
Sebutan tersebut berlanjut dalam setiap kegiatan aksi membantu dalam berbagai bencana yang terjadi di Indonesia. Hingga tahun 2013 mereka memutuskan untuk berkomunikasi secara intens melalui media sosial. “Akhirnya kami membuat grup di facebook dengan nama Komunitas Pendaki Muslim,” ungkap Dean.
Dia melanjutkan, KPM juga merupakan wadah komunikasi antar pendaki berbasis Islam. Seluruh komunitas yang terakses dapat melakukan upaya menjalin ukhuwah. “Jadi ini bukan sebuah grup yg akan "menandingi" grup - grup adventure berbasis Islam yang sudah ada, tetapi KPM adalah wadah silaturahmi antar komunitas tersebut,” tuturnya.
Peserta yang bergabung dalam KPM juga beragam. Tidak memandang gender maupun usia. Bahkan, beberapa perempuan bercadar turut serta dalam pendakian dan kegiatan relawan KPM. Dean mengakui, hadirnya rekan-rekan perempuan apalagi yang berhijab dan bercadar mendapatkan banyak cibiran melalui media sosial maupun secara langsung saat pendakian.
“Mereka menganggap pakaian teman-teman perempuan kami membahayakan. Bahkan, dianggap sikap fanatisme yang sempit dalam kegiatan alam bebas,” kenang Dean.
Namun, hal itu justru memacu pendaki muslimah untuk terus mensyiarkan agama Islam melalui kegiatan pendakian dan aksi relawan. Para pendaki muslimah tersebut terus mendakwahkan bahwa berhijab merupakan hal wajib dan tidak membatasi ruang gerak setiap muslimah yang ingin beraktivitas.
“Teman-teman memberikan edukasi melalui tulisan di media sosial bahwa hijab syar`i yang di pakai adalah ketentuan langsung dari Allah. Justru dapat memberikan perlindungan,” ujarnya.
Kegiatan yang dilakukan KPM tidak hanya sekadar mendaki. Mereka juga kerap membantu saudara-saudara yang tertimpa bencana. Seperti bencana gempa di Pidie Jaya, Aceh tahun lalu. Relawan dari KPM membangun sekolah darurat untuk anak-anak korban gempa. Juga, turun langsung memberikan pelayanan kesehatan untuk para korban bencana.
“Intinya, menjadikan kegiatan mendaki ini sebagai kegiatan ibadah dan dakwah kami,” tutur Dean.
Dean menuturkan, hingga kini jumlah anggota KPM terus bertambah. Di media sosial membernya mencapai 30 ribu lebih. “Setiap pekan bahkan setiap hari terus bertambah, dan terbuka untuk setiap Muslim yang ingin bergabung dan berkontribusi dalam melanjutkan syiar kegiatan alam serta dakwah tentang islam,” katanya.