Wanita Muslimah Ini adalah Pahlawan Bagi Orang Gila

Muslimahdaily - “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Sabda Rasulullah itu sekiranya tercermin dalam diri Utiyah, pendiri Panti Psikotik Dzikrul Ghofilin di Dusun Jurutengah, Kabupaten Wonosobo. Tergerak oleh pengalaman pahit sendiri, wanita muslimah itu menampung 147 pasien sakit jiwa, berbekal keikhlasan dan dukungan orang sekitarnya.

Pengalaman pahit Utiyah yakni sempat mengalami gangguan jiwa, begitu pula dengan ketiga adiknya, memang tidak lama dan mereka pun berhasil sembuh. Namun, bukannya malu atas penderitaannya dulu, Utiyah malah menolong orang yang senasib dengannya sejak tahun 2010.

“Itulah awal mula saya mendirikannya sebagai wujud rasa syukur. Kalau misalnya ngomong syukur bisa lah, tapi buktinya mana. Kan, susah membuktikan,” ujar wanita usia 46 tahun itu.

Awalnya, sang anak protes dengan keputusan ibunya. Sebab, pasien gangguan jiwa memiliki citra yang kurang baik di mata masyarakat. Namun, Utiyah bermental baja. Dia justru menentang balik sang anak.

“Kalau ibumu tidak sembuh, ibu akan jadi seperti mereka. Kalau kamu masih belum bisa menerima kenyataan, silakan keluar dari rumah ini,” tegasnya.

Meskipun tidak digaji dan sempat tidak mendapat dukungan sang anak, Utiyah terus maju pantang mundur. Kini, dukungan justru mengalir sejak namanya melambung di talkshow Kick Andy. Pada Maret 2016 lalu, Utiyah bahkan menerima penghargaan dari Kick Andy Be Heroes 2016. Masih pada bulan yang sama, dia juga mendapatkan apresiasi langsung dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Walaupun banjir penghargaan, Utiyah tidak lantas berbangga diri. Dia tetap menjadi pahlawan bagi orang gila. Pasiennya tidak hanya dari Wonosobo, tapi juga dari luar pulau Jawa. Penyebab gangguan jiwa pun bermacam-macam.

“Ada yang karena kekerasan rumah tangga, faktor ekonomi, terus putus cinta, gagal menikah. Ada juga yang karena belajar suatu ilmu,” jelasnya. Selain itu, latar belakang pendidikan pun mulai dari yang tidak sekolah sampai yang meraih gelar S2.

Mengintip keseharian mereka di panti psikotik membangkitkan perasaan iba sekaligus geli. Ketika pagi menjelang, musik dangdut mulai mengalun di seantero rumah yang dulunya bekas kandang ayam itu. Para pasien mengentak-entakkan kaki mengikuti irama musik, berjoget sesuka hati. Terkadang diselingi lambaian tangan dan cengiran polos.

Sementara itu, Utiyah dan beberapa pasien lainnya yang telah sembuh memasakkan makanan. Aroma sayur dan tempe goreng segera membangkitkan rasa lapar. Sangidun, adik Utiyah, membantu menyiapkan makanan. Dia juga yang membantu semua proses terapi.

Selepas beraktivitas pagi itu, Utiyah berangkat mengajar di Sekolah Dasar Erorejo. Mantan TKW di Arab Saudi itu membimbing murid-muridnya dengan suri teladan yang terbalut semangat dan keceriaan. Kepala SD Erorejo pun mendukung kegiatan sosial rekannya, selama tidak merugikan kedua belah pihak.

Sepulang dari sekolah, Utiyah kembali melanjutkan aktivitasnya merawat pasien sakit jiwa. Dia mengarahkan pasien agar tidak tidur. Salah satunya dengan olahraga. Tujuannya agar pasien merasa lelah sehingga tidur dengan nyenyak pada malam hari.

Beban hidup yang mengusik saraf pasien memang menimbulkan reaksi yang beragam. Kadang mereka tertawa-tawa, kadang juga menumpahkan ceritanya pada Utiyah sembari terisak. Malamnya, mereka bisa saja berteriak-teriak.

“Kalau mereka cemas ketakutan, saya akan memijat saraf. Lalu juga ada zikir,” jelasnya.

Menghidupi ratusan pasien sakit jiwa, tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Utiyah menghabiskan 1, 2 ton beras setiap bulannya, sampai-sampai berhutang di penggilingan padi. Dana tertutupi ketika ada donasi dari keluarga pasien yang mampu maupun kelompok lainnya. 

Utiyah, wanita muslimah yang bermanfaat bagi orang lain, peduli pada saudara-saudara kita yang seringkali diasingkan masyarakat. Semoga kiprahnya yang semakin melejitkan namanya itu menginspirasi generasi muda, dan melahirkan Utiyah-Utiyah lainnya.

Add comment

Submit