Muslimahdaily - Namanya mungkin tidak senyaring Kartini, namun perjuangannya abadi hingga saat ini. Ia adalah Hajjah Rahmah El Yunusiyyah, penggerak utama kemajuan pendidikan kaum perempuan di Indonesia. Rahmah dilahirkan di Padang Panjang pada hari Jumat, 29 Desember 1900. Ia tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan pendidikan.

Latar belakang keluarganya sangat kental dengan tradisi keilmuan. Ayahnya, Syekh Muhammad Yunus bin Imaduddin, merupakan seorang ulama sekaligus qadi (hakim agama) yang terkemuka. Ibunya bernama Rafi’ah, dan kakaknya, Zainuddin Labay, adalah pendiri Diniyah School. Rahmah menempuh pendidikan formalnya di sekolah milik kakaknya tersebut.

Semasa duduk di bangku sekolah, Rahmah dikenal sebagai murid yang cerdas dan kritis. Ia kerap mengkritisi sistem sekolah pada masa itu yang didominasi oleh laki-laki dan membatasi ruang gerak perempuan. Kala itu, perempuan sering dipandang sebelah mata dan dianggap tidak perlu menempuh jalan pendidikan. Kenyataan ini sangat menyayat hati Rahmah. Baginya, perempuan mutlak harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya sebab ia akan menjadi seorang ibu, Madrasatul Ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya. Perempuan harus dibekali dengan ilmu agar mampu melahirkan generasi penerus yang berkualitas.

Bagi Rahmah, banyak permasalahan tentang keperempuanan yang masih dianggap tabu dan tidak dijelaskan dengan baik di dalam kelas formal. Alhasil, ia memutuskan untuk mempelajari ilmu agama secara langsung dari para syekh dan ulama besar saat itu, di antaranya Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Daud Rasyidi, dan Syekh Latif Rasyidi. Rahmah mempelajari berbagai disiplin keilmuan, seperti Bahasa Arab, Ushul Fikih, ilmu bumi, ilmu hayat, dan masih banyak cabang keilmuan lainnya. Ia belajar bersama ketiga temannya, yaitu Rasuna Said, Nanisah, dan Djawana Basyir. Tak hanya ilmu teori, Rahmah juga mempelajari keterampilan praktis seperti menenun, menjahit, dan ilmu kesehatan, khususnya kebidanan.

Keyakinan Rahmah akan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan menguatkan tekadnya untuk mendirikan sekolah khusus putri. Ia banyak berdiskusi dengan teman-temannya, juga dengan sang kakak yang telah lebih dahulu mendirikan sekolah. Keinginan Rahmah tersebut akhirnya terwujud pada tanggal 1 November 1923, saat ia resmi mendirikan sekolah khusus perempuan dengan nama Perguruan Diniyah Puteri.

Pada masa awal pendiriannya, murid yang terdaftar di perguruan ini sebanyak 71 orang dan didominasi oleh wanita muda yang sudah berkeluarga. Metode pembelajarannya sangat sederhana, begitu pula kurikulum yang digunakan. Rahmah bersama tiga guru lainnya, yaitu Darwisah, Nanisah, dan Djawana Basyir, memfokuskan pendidikan pada ilmu agama, Bahasa Arab, dan pengetahuan umum praktis.

Dalam mengembangkan sekolah yang didirikannya, Rahmah mencurahkan seluruh waktu, tenaga, dan harta yang dimilikinya. Ia melakukan kunjungan ke beberapa daerah untuk menyempurnakan kurikulum pendidikan Perguruan Diniyah Puteri. Ia pun tidak segan mencari dana bantuan demi kemajuan sekolahnya. Pada tahun 1927, Rahmah pergi ke berbagai kota untuk mengumpulkan dana guna membangun gedung baru yang bersifat permanen. Gedung tersebut akhirnya selesai dibangun pada tahun berikutnya.

Perjuangan Rahmah mendirikan Perguruan Diniyah Puteri tidak lepas dari tantangan dan ancaman. Pada masa penjajahan Belanda, Perguruan Diniyah Puteri dicurigai sebagai sekolah yang akan mencetak para pemberontak, hingga Belanda sempat melakukan penggeledahan. Namun, kecurigaan tanpa dasar itu tidak terbukti. Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang, Rahmah berjuang melindungi siswanya dari kekejaman tentara Jepang. Ia bahkan rela menggelontorkan sejumlah hartanya demi menjamin keselamatan para muridnya.

Kegigihan Rahmah dalam membangun dan melindungi sekolahnya membuahkan hasil yang membanggakan. Pada tahun 1928, jumlah siswa yang bergabung bertambah sebanyak 200 orang dan terus meningkat seiring berjalannya waktu. Prestasi Rahmah bahkan terdengar hingga ke dunia internasional. Ia berhasil mendapatkan gelar kehormatan “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, Mesir, dan mencatatkan namanya sebagai perempuan pertama yang menerima gelar tersebut. Rahmah jugalah yang menginspirasi Al-Azhar untuk membuka fakultas khusus perempuan (Kulliyatul Banat).

Perjuangan Rahmah terus mendapatkan sorotan dan pengakuan luas. Pemerintah Indonesia menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adiprana pada tahun 2013. Puncaknya, Rahmah mendapat penganugerahan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2025. Hal ini menjadi pengakuan tertinggi negara atas dedikasi dan pengorbanan Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa perempuan dapat menembus batas keraguan berkat kegigihan dan kerja keras. Rahmah menjadi sosok teladan bagi setiap insan yang memiliki tekad kuat untuk membangun peradaban dan memajukan bangsa.