Muslimahdaily - Jalanan ibu kota dipadati kaum hawa pada Sabtu (3/3/2018) kemarin. Dengan membawa poster dan banner isu gender, mereka melakukan longmarch dari Sarinah hingga Taman Aspirasi Monas. Bukan pertama kali dan bukan hanya di Jakarta, Women’s March menjadi ajang memperingati hari perempuan sedunia yang diperingati tanggal 8 Maret. Lalu, apa yang sebenarnya mereka lantangkan? Apakah bertentangan dengan Islam?

Dilansir Kumparan, ada 8 tuntutan yang diserukan dalam Women’s March, yakni di antaranya meminta pemerintah untuk menghapus hukum dan kebijakan yang diskriminatif berbasis gender; membuat hukum dan kebijakan yang suportif berbasis kekerasan dan gender; memberikan akses keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan; menghapuskan stigma dan diskriminasi terutama kelompok dalam status kesehatan seperti HIV dan narkoba;

Selain itu juga mereka menuntut penyelesaian akar dari kekerasan berbasis gender yaitu pemiskinan perempuan; menghentikan intervensi negara terhadap tubuh dan seksualitas warga negara; menghapuskan praktek dan budaya kekerasan gender; serta mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif menghapus kekerasan berbasis gender. “Itu yang menjadi fokus kami karena beberapa alasan. Kami menuntut bukan hanya perlindungan tetapi juga bantuan hukum dan pemulihan untuk penyintas,” ujar Wakil Ketua Panitia Women`s March Jakarta 2018, Naila Rizqi Zakiah, dikutip dari Antara.

Kedelapan tuntutan tersebut nampak tak bertentangan dengan syariat. Bahkan Islam juga sangat melindungi wanita dan terdapat larangan keras menyakiti kaum hawa. Hanya saja, ada yang menyentil di dalam aksi damai yang diikuti 200 wanita tersebut. Terdapat pula beberapa hal yang perlu dipahami para muslimah mengenai Women’s March supaya tak terjebak memberikan dukungan karena merasa sebagai wanita.

1. Warna Pelangi

Dalam aksi Women’s March, tak sedikit yang menyelipkan warna pelangi dalam poster yang mereka bawa. Bahkan ada pula yang membawa bendera pelangi besar-besar. Bendera ini tak hanya dibawa peserta Women’s March Jakarta, namun juga Women’s March di Bandung pada Minggu (4/3) dan di Surabaya pada Senin (5/3).

Sebagaimana diketahui, warna pelangi merupakan lambang dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT). Bukan rahasia umum pula bagaimana sikap Komnas Perempuan, yakni penyelenggara Women’s March, dalam menyikapi isu LGBT.

Padahal Al Qur’an menyebut jelas tentang LGBT yang menyamai kaum gay Sodom, “Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf: 81).

2. Poster Aurat

Hampir setiap peserta longmarch nampak membawa poster atau banner dengan beragam tulisan yang menyinggung tentang isu wanita, baik tentang peran wanita sebagai ibu, wanita bekerja, kekerasan pada wanita, pernikahan anak, kesetaraan gender, dan lain sebagainya termasuk tentang pakaian dan tubuh wanita.

Beberapa yang menjadi sorotan di antaranya poster yang dibawa artis Hanna Al Rasyid yang bertuliskan, “Aurat gue bukan urusan lo! Stop victim blaming, stop pelecehan seksual.” Banner senada juga dibawa para peserta; “Bukan salah tubuhku atau pakaianku, tapi kamu yang melanggar otoritas tubuhku”, “Baju gue lo urusin. Birahi lo dibiarin,” “Celana cingkrang tak mengapa asal otak bukan cuma urusan jangkang,” “Bukan baju gue yang porno, tapi otak lo.”

Namun ternyata ada satu banner sederhana yang dibawa seorang wanita berhijab, dan mampu menjawab setiap banner tentang aurat wanita; “Makanya tutup auratmu biar gak dilecehkan.” Sesungguhnya telah jelas firman Allah, “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).

3. Pasal Zina dalam RKUHP

Terdapat satu fokus tuntutan utama dari aksi Women’s March, yakni terkait Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang masih digodog anggota dewan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Para peserta Women’s March menolak RUU KUHP pasal zina. “Jadi kawan-kawan, RKUHP jadi kita sasar Menkumham untuk tarik RKUHP. Hari ini kita menyuarakan tarik RKUHP, tanggal 8 Maret tarik RKUHP, tanggal 10 Maret kita turun juga buat tarik RKUHP,” seru Naila saat melakukan orasi, dilansir Kumparan.

Mengutip dari HukumOnline, resiko adanya RUU KUHP pasal zina yang paling dikhawatirkan Komnas Perempuan, salah satunya ialah ancaman kriminalisasi. “Banyak orang terancam dipidana jika makna zina diperluas. Saat ini cakupannya masih terbatas, hanya jika salah satu atau kedua belah pihak sudah menikah. Itu pun harus ada pengaduan dari pasangan salah satu pihak.”

Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas Islam mendukung adanya RUU KUHP. Ketua Umum MUI KH Ma'ruf Amin dan jajaran MUI lain bahkan pernah bertemu dengan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo untuk menyampaikan aspirasi tentang rancangan undang-undang tersebut.

“Saya pastikan RUU KUHP mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat. Kita tidak memberikan ruang bagi LGBT, perzinahan, penistaan agama, maupun KDRT. Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya dan bermoral. Kita punya nilai-nilai luhur dari ajaran budaya dan agama. Kita bukan bangsa barbar yang tak beradab,” ujar Bamsoet dikutip dari detik.

4. Feminisme

Jakarta Post menyebut para peserta Women’s March sebagai feminis. Dari slogan, tuntutan, poster, idealisme, dan lain sebagainya, Women’s March memang sesuai dengan ciri feminisme. Di Barat, para feminis juga biasa melakukan women’s march untuk memperingati hari perempuan sedunia. Adapun feminisme merupakan sebuah gerakan yang menuntut emansipasi wanita, atau kesetaraan gender antara wanita dan pria.

Dalam Islam, antara pria dan wanita memang memiliki hak yang sama dan setara, sebagaimana firman-Nya, “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisa: 124).

Namun kesetaraan gender dalam Islam bukanlah seperti yang dimaknai feminisme. Karena secara kodrat, wanita memang diciptakan berbeda dengan pria. “Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran: 36). Alih-alih memberikan kesetaraan sebagaimana paham feminisme dan sekuler, Islam justru memberikan keadilan. Alhasil, bukan memunculkan persaingan antara pria dan wanita, melainkan saling melengkapi.

Kesetaraan atau dalam bahasa Arab disebut Musawatu, dikutip dari laman muslim.or.id, bukanlah paham yang berasal dari Islam. Agama ini memandang keadilan bagi pria dan wanita, bukan kesetaraan. “Konsep kesetaraan bertolak belakang dengan prinsip keadilan. Karena adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya.”