Muslimahdaily - Seorang pelajar muslimah di Yale, AS, memenangkan kejuaraan lomba Puisi tingkat dunia (World Poetry Slam Championship), ia meraih gelar yang didambakan lewat kompetisi yang diikuti oleh beberapa penyair terbaik dunia.

“Saya terperanjat, tidak menyangka. Benarkah ini terjadi?” ujar Emtithal ‘Emi’ Mahmoud, mengenang saat namanya diumumkan sebagai pemenang, tanggal 26 Oktober lalu seperti yang dilansir dari laman Onislam.net.

Mahmoud dinobatkan sebagai pemenang iWPS pada 10 Oktober dalam event yang digadangkan sebagai kompetisi terbesar yang diikuti 96 penyair. Kompetisi tahunan yang berlangsung empat hari itu diselenggarakan oleh Beltway Poetry Slam and Poetry Slam Inc. (Psi), dan diikuti beberapa penyair terbaik dunia.

Di samping kompetisi utama puisi, kejuaraan itu juga meliputi workshop, pembacaan puisi dan event untuk semua umur.

Emtithal Mahmoud berasal dari Darfur, Sudan, beremigrasi ke AS ketika masih balita tahun 1998. Ia pertama kali tertarik dengan puisi setelah melihat pembacaan puisi oleh Sean Beckett’13. Kemudian ia menemukan Oye!, kelompok penyair yang berafiliasi dengan The Latino Cultural Center yang tidak mengharuskan audisi. Arti nama kelompok itu adalah “Hai” atau “dengarkan” dalam bahasa Spanyol.

“Saya butuh ruang dimana saya bisa menumbuhkan jiwa seni dan bisa menulis untuk kepentingan saya sendiri dan masyarakat. Saya mendapatkannya di Oye!,” ujarnya. Dengan bergabung dengan kelompok itu, ia membentuk kelompok The Yale Slam Team di bawah asuhan pelatih Alysia Harris, seorang kandidat Ph.D ilmu linguistik. Bahkan, Mahmoud menjadi Pembantu Direktur Artistik Oye bersama David Rico. Ia juga asisiten pelatih The Slam Team bersama Harris.

“Benar-benar peran magang; Alysia memberikan tugas berat. Saya di sana belajar, tumbuh, dan mengerjakan tugas penulisan,” tambahnya lagi sembari tertawa.

Terapi

Ketika neneknya yang tinggal di Sudan meninggal saat kompetisi berlangsung, orangtuanya memberitahu untuk tetap ikut kompetisi karena dia lah yang menginginkan Mahmoud ikut kompetisi itu.

Sehari sebelum final, ia membuat dua buah puisi, “People Like Us” dan “Bullets” yang mengisahkan tentang kenangannya akan perang di Darfur. Sebelumnya dia menulis “Flesh was never meant to dance with silver bullets” dan “16 ways to stop a heart.”

Selanjutnya, dia menulis tentang perasaan “bersalah” karena mengungsi ke Amerika dan melarikan diri sementara yang lain tidak, menjelaskan kalau ‘raganya yang harus diterjang peluru; bukan saudara-saudaranya yang tertembak.  

Konflik Darfur pecah tahun 2003 saat pemberontak mengangkat senjata melawan pemerintah atas tuduhan diskriminasi. Pemerintah Sudan mengatakan 10 ribu orang tewas. Tak ada penyelidikan independen yang dilakukan hingga saat ini.

Dengan memenagkan kompetisi ini, ia menceritakan seluruh pengalamannya bersama iWPS dengan menekankan manfaat terapi puisi.
 

Balqis Afifah

Add comment

Submit