Muslimahdaily - Sering kita jumpai fenomena perbedaan pendapat terkait jatuhnya 1 Syawal saat mendekati Idul Fitri. Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam.
Kementerian Agama RI selalu mengadakan sidang isbat untuk menyatukan perbedaan pendapat tersebut. Pertemuan ini tentunya dihadiri oleh para ulama, ahli hisab-rukyat, ilmuwan, dan perwakilan dari berbagai golongan. Namun, setiap golongan mazhab memiliki cara tersendiri dalam menentukan jatuhnya 1 Syawal menurut ketentuannya masing-masing.
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk mengetahuimetode yang digunakan para ulama dalam menentukan Ramadhan dan awal Syawal.
Dilansir dari NU Online, berikut beberapa cara penetapan 1 Syawal:
1. Metode Rukyat
Metode rukyat adalah metode yang dilakukan dengan mengamati hilal. Metode ini menjadikan bulan Sya'ban tepat 30 hari. Sebagian besar mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan bahwa awal Idul Fitri dan Ramadhan hanya dapat ditentukan dengan metode rukyat. Metode ini berpegang pada firman Allah dan hadist Rasulullah yang berbunyi:
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185,
"Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya."
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari." (HR Bukhari Nomor 1776).
2. Metode Hisab
Metode hisab adalah metode perhitungan untuk menentukan posisi hilal. Beberapa ulama, antara lain Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah, dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dan Idul Fitri dapat ditentukan dengan cara ini.
Kedua pendapat di atas sama-sama kuat. Metode rukyat menggunakan argumentasi yang sangat jelas, dan metode hisab mendukung hasil rukyat dengan alat yang sangat canggih. Metode ini berpedoman pada firman Allah dan hadits Rasulullah yang berbunyi:
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surat Yunus ayat 5,
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu)."
Rasululullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia."
Dilansir dari NU Online, berikut empat kriteria penentuan awal Ramadhan dan Syawal:
1. Imkanur Rukyat (Jarak Hilal)
Imkanur rukyat adalah kriteria yang digunakan oleh NU untuk mempertimbangkan kemungkinan melihat hilal. Bulan baru harus setidaknya 2 derajat di atas ufuk agar bisa terlihat. Akan tetapi, keberadaan hilal tersebut belum disadari hingga hilal tersebut dapat dilihat dengan mata.
2. Wujudul Hilal
Munculnya hilal merupakan kriteria penentuan awal bulan Ramadhan yang digunakan oleh Muhammadiyah dengan menggunakan dua prinsip, yaitu Ijtima atau konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam dan bulan terbenam setelah matahari terbenam. Jika kedua kriteria ini terpenuhi, maka malam bisa dinyatakan sebagai awal bulan.
3. Imkanur Rukyat MABIMS
Kriteria ini ditetapkan berdasarkan musyawarah Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) untuk menentukan awal bulan Ramadan dan Idul Fitri.
Kriteria imkanur rukyat dianggap memenuhi syarat jika posisi hilal mencapai ketinggian 3 derajat dengan sudut pemanjangan (jarak antara bulan dan matahari) 6,4 derajat.
4. Rukyat Global
Rukyat global digunakan oleh sebagian umat Islam Indonesia dengan referensi langsung ke Arab Saudi atau negara lain. Kriteria penentuan awal bulan Ramadhan berpegang pada prinsip bahwa jika satu penduduk suatu negara melihat hilal, maka seluruh negeri akan berpuasa.
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perbedaan metode dan kriteria penentuan awal Ramadhan dan Syawal, maka tidak heran jika terdapat perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Namun, ada baiknya apa yang dilakukan Kementerian Agama dalam menyatukan perbedaan pendapat tersebut.