Muslimahdaily - Sebuah petisi pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencuat di halaman Change.org. Sedikitnya 11 ribu orang telah menandatangani petisi yang ditujukan kepada Presiden Jokowi tersebut. Hal ini tentu saja meresahkan muslimin Indonesia. Bahkan tak sedikit yang kemudian terpecah belah dalam kontroversi.
Terlepas dari pilkada dan kampanye politik yang tengah memanas di ibu kota, terlepas pula dari isu penistaan agama yang membawa dalil sebuah ayat suci, petisi pembubaran MUI menjadi sebuah keprihatinan tersendiri. Mengingat di sanalah wadah para guru besar agama berkumpul menaungi muslimin yang menjadi mayoritas bangsa ini.
Teringat sebuah hadits, “Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi orang yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak-hak para ulama,” (HR Al-Hakim). Cukuplah hadits tersebut menengahi kontroversi petisi yang ditulis entah siapa sosok dibaliknya. Namun jika pemilik akun “Untuk Indonesia” si penulis petisi tersebut beragama non-Islam, tentu hadits ini tidaklah pas.
Maka sebuah dalil umum perlu dibentangkan dengan lebar, yakni bagaimana posisi MUI bagi masyarakat Indonesia yang meski didominasi muslim, namun memiliki keberagaman latar belakang agama dan budaya. Dalam web resmi MUI disebutkan adanya Khittah yang merumuskan lima fungsi dan peran utama MUI, yakni sebagai pewaris tugas para Nabi, sebagai pemberi fatwa, sebagai pembimbing dan pelayan umat, sebagai gerakan islah wal tasydid, serta sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar.
Sangat terang bahwa lembaga inilah yang menjadi juru kunci dakwah agama rahmatan lil alamin, agama yang datang sebagai rahmat bagi seluruh alam, bagi seluruh golongan bagaimana pun latar belakangnya. Lembaga ini pula yang menjadi pusat muslimin mencari solusi permasalahan agama karena di sanalah fatwa jumhur ulama Indonesia diputuskan. Sangat terang pula bagaimana lembaga yang berdiri sejak tahun 1975 ini melakukan perbaikan dengan membendung aliran-aliran sesat yang sering kali bermunculan di tanah air, memutuskan batasan haram dan halal segala produk konsumsi, mengawal media massa terutama media online yang santer mengabarkan isu ketimbang fakta, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana jika majelis ini dibubarkan? Layakkah sebuah isu yang seharusnya berada di ranah politik mengakibatkan dampak besar di ranah agama?
Situs change.org sebetulnya sangat apik menjadi wadah penyampaian hak suara setiap individu melalui petisi yang bisa ditulis siapa saja di mana saja. Teringat sebuah petisi bulan Agustus lalu yang mampu menggalang suara bagi pemberian hak seorang gadis kelahiran Prancis untuk mendapatkan haknya menjadi paskibra RI. Atau kasus lain yang tengah trending, yakni mengenai penolakan jam sekolah full day. Tak lama, petisi yang mendapat dukungan lebih dari 44 ribu orang tersebut pun mendapat tanggapan langsung dari Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, Muhadjir Efendy. Bagaimana suara satu orang warga negara dapat didengar hingga jajaran eksekutif, tentulah sangat menakjubkan.
Ya, setiap orang berhak menyuarakan pendapat di negeri demokrasi. Setiap individu berhak menulis petisi yang tentu ada alasan dibalik pembuatannya. Namun marilah kita sadar referensi. Kesadaran referensi menjadi filter utama di tengah arus informasi yang begitu deras melalui dunia maya dan media sosial tanpa penyaring. Kesadaran referensi dengan kroscek setiap informasi akan menyelamatkan kita agar tak mudah terhasut provokasi dan terjatuh dalam kontroversi. Jadi, mari telisik dahulu siapa MUI barulah kita putuskan menandatangani petisi.