Muslimahdaily - Adz Dzahabi sangatlah giat menuntut ilmu, mencari hadits, dan mendengar pelajaran dari para ulama. Namun ia hanya bisa berpangku tangan ketika teman-teman sejawatnya pergi ke luar kota untuk belajar pada ulama yang lebih faqih dan memiliki sanad yang lebih tinggi. Alasan Adz Dzahabi sederhana, karena tak ada izin dari sang ayah.

Suatu hari Adz Dzahabi dilanda kesedihan yang teramat pilu. Pasalnya, sang guru yakni Syekh Al Fadhili menemui ajal. Adz Dzahabi sangat berduka karena ia belum selesai melakukan muraja’ah bacaan Al-Qur’an di hadapan sang guru. Ia pun tak bisa menemukan guru lain yang memiliki sanad bacaan Al-Qur’an hingga Rasulullah.

Seorang temannya kemudian berusaha menyemangati. Ia berkata kepada Adz Dzahabi bahwa ada seorang ulama di Kota Iskandariyah (Alexandria) bernama Abu Muhammad Al Makin Al Asmar yang memiliki sanad lebih tinggi dari Syekh Al Fadhili. “Bacalah Al-Qur’an di hadapannya,” ujar sang kawan.

Namun bukannya gembira, kabar tersebut justru makin membuat Adz Dzahabi dilanda kesedihan berlipat ganda. Pasalnya, sang ayah tak pernah memberikan izin untuk pergi ke luar kota. “Maka semakin bertambahlah kesedihanku karena ayahku tidak mengizinkanku melakukan safar ke kota Iskandariyah,” ujar Adz Dzahabi.

Bahkan untuk menuntut ilmu yang pahalanya luar biasa besar pun Adz Dzahabi enggan berdebat dengan sang ayah. Ia memilih menurut pada sang ayah meski harus kehilangan kesempatan untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi dan kesempatan belajar dengan lebih banyak ulama. Dengan alasan berbakti, Adz Dzahabi pun memilih belajar di kotanya dan kehilangan banyak sekali kesempatan besar yang ada di hadapannya.

Di hari lain, Adz Dzahabi amat sangat ingin menimba ilmu pada ulama kondang kala itu, ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Latif Al Baghdadi. Keinginannya sangat kuat, tekadnya telah bulat, bahwa ia harus datang ke majelis sang ulama Baghdad tersebut. Apalagi jaraknya cukup dekat, tak sejauh ke kota Iskandariyah.

Namun ketika hendak melakukan perjalanan demi menuntut ilmu, ia selalu terngiang larangan sang ayah. Ia merasa sangat takut menjadi anak tak berbakti. “Aku merasa sedih ketika bepergian kepadanya (yakni menuju majelis ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Latif Al Baghdadi). Tidaklah aku menyeberangi jembatan kecuali merasa khawatir dengan ayahku. Sesungguhnya dia telah melarangku,” ungkap Adz Dzahabi.

Adz Dzahabi selalu menurut dan tak pernah melanggar larangan sang ayah. Ia bersedia meninggalkan safar menuntut ilmu karena larangan sang ayah. Ia dengan rela hati mencukupkan belajar di kotanya karena ayahnya melarang untuk safar. Hingga suatu hari, kesabaran dan sikap bakti Adz Dzahabi berhasil mengetuk pintu hati sang ayah.

Pada sebuah kesempatan, sang ayah mengizinkan Adz Dzahabi untuk safar menuntut ilmu. Betapa bahagianya Adz Dzahabi dengan kebahagiaan yang tak terkira. Sekian lama ia menunggu izin dari sang ayah untuk pergi menuntut ilmu.

Namun ternyata sang ayah membatasi waktu safar Adz Dzahabi yakni maksimal 4 bulan lamanya. Bagi Adz Dzahabi, 4 bulan safar sudah sangat cukup untuk disyukuri dan ia pun sangat berterima kasih pada sang ayah.

Pergilah Adz Dzahabi menuju seorang imam dan tinggal di tempat imam tersebut. Namun ternyata nikmatnya menuntut ilmu membuat waktu terasa sangat pendek. Baru saja menyantap ilmu dari ulama, Adz Dzahabi harus segera pulang. Teman-temannya meminta Adz Dzahabi tinggal lebih lama. Namun Adz Dzahabi hanya bisa menjawab,

“Aku telah berjanji dan bersumpah kepada ayahku, bahwa aku tidak akan tinggal dalam perjalanan ini lebih dari 4 bulan, sehingga aku khawatir menjadi anak durhaka.”

Masya Allah, betapa mengagumkan sikap bakti Adz Dzahabi pada ayahnya. Ia mewajibkan dirinya untuk mendapat izin sebelum pergi, meski pun kepergiannya untuk menuntut ilmu syar’i.

Ia bahkan takut dianggap durhaka hanya karena melanggar sedikit janji yang nampaknya sangat sepele. Ia takut menjadi anak durhaka hanya karena melanggar waktu meski setiap detiknya ia habiskan untuk mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Lalu bagaimana dengan pemuda di masa sekarang? Jangankan untuk menuntut ilmu, saat hang out dengan kawan-kawan pun sampai lupa waktu hingga membuat orang tua khawatir. Lebih dari itu, ada pula yang pergi bertemu kawan-kawannya tanpa meminta izin orang tua.

Ada pula pemuda yang mendebat habis orang tuanya ketika tak mendapat izin kuliah, bahkan traveling ke luar kota. Subhanallah, sikap berbakti menjadi pemandangan yang sangat langka dijumpai di masa kini.

Belajarlah dari Adz Dzahabi, lihatlah betapa baktinya beliau pada orang tua. Lihat pula bagaimana umat Islam mengenang namanya. Ya, ia dikenal sebagai salah satu imam besar muslimin dunia yang karyanya masih menjadi rujukan para ulama hingga kini.

Meski terbatas menuntut ilmu karena tak mendapat izin orang tua, Adz Dzahabi mampu menyimpan banyak ilmu di hatinya. Tentulah semua itu berkat rahmat dan keberkahan dari Allah untuk anak berbakti.