Muslimahdaily - Ibu telah mengandung selama sembilan bulan dengan susah payah yang tak terkira. Selepas itu pula, ia harus berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan kita buah hatinya dengan kesakitan yang amat sangat luar biasa. Bukannya usai, perjuangan ibu masih berlanjut saat harus membesarkan anak, mengurus, mendidik, memenuhi keperluan dan lain sebagainya yang semua hal itu tak hanya menguras peluh namun juga air mata. Itu dilakukan ibunda, sejak kita lahir hingga dewasa kini, 24 jam tanpa jam kerja, tanpa gaji, tanpa istirahat, tanpa cuti.

Apa balasan dan harapan yang didapatkan ibu dari perjuangan tangguh itu? Hanya kebahagiaan. Sebaliknya, bagaimana kita sebagai anak membalas segala perjuangan menakjubkan ibunda? Apakah ada amalan khusus yang dapat menggantikan segala jasa ibunda pada kita? Kisah ini mungkin yang dapat menjawabnya.

Ka’bah di hari itu nampak berbeda. Bukan karena bangunannya, melainkan para hamba Allah yang tengah berthawaf mengelilinginya. Adalah seorang pria paruh baya di tengah-tengah mereka yang jumlahnya sangat banyak itu. 

Ia menjadi pusat perhatian banyak orang. Ia pula mengundang decak kagum mereka. Hal itu disebabkan ia menggendong ibunya yang telah sepuh sembari ibadah tawaf.

Tubuhnya dipenuhi peluh karena harus mengeliling ka’bah sembari menopang tubuh ibunda. Bulir-bulir keringat sebesar jagung membasahi wajahnya karena harus berdesakan sembari menahan beban berat tubuh ibunda. Ia terlihat sangat lelah, namun ia tak menyerah. Pria itu terus menggendong ibunya hingga tujuh kali putaran.

Hingga kemudian pria itu mengenali sosok yang sangat masyhur, yakni shahabat Rasulullah sekaligus putra khalifah kedua, Ibnu Umar tengah duduk di Masjidil Haram. Segera pria itu mendatangi Ibnu Umar yang ternyata sedari tadi juga memperhatikan tingkah laku si pria yang berusaha keras menggendong ibunya keliling Baitullah.

Pria itu pun menyapa dan mengucapkan salam kepada beliau radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Umar pun kemudian menyambutnya dengan hangat. Pria itu ternyata menghampiri Ibnu Umar karena ingin menanyakan pahala atas apa yang baru saja ia lakukan. Ia telah bersusah payah menggendong ibunya keliling Ka’bah dan ia penasaran apakah amalannya itu cukup menggantikan segala hal yang telah dilakukan ibunda padanya, sejak mengandung, melahirkan hingga membesarkannya.

“Wahai Ibnu Umar, apakah yang kulakukan ini sudah dapat membalas jasa ibuku?” tanya pria itu.

Ibnu Umar menanggapi pertanyaan itu dengan seberkas senyum, lalu berkata, “Belum bahkan meski hanya satu kali erangan ibumu saat melahirkanmu.”

Tentu saja pria itu kaget dan segera merasa sedih. Ia pun tersadar apa yang telah dilakukannya, menggendong ibunda, bukanlah apa-apa jika dibandingkan rasa sakit dan derita yang harus dialami ibunya saat melahirkannya. Pria itu tertunduk. Hampir saja air matanya tumpah.

Melihat kedukaan sang pria, Ibnu Umar pun menghibur dengan kabar tentang kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya yang ikhlas. “Dengan amalan yang sedikit, namun jika engkau ikhlas dan bertakwa, maka Allah akan membalasnya dengan sesuatu yang istimewa,” ujar beliau.

Wajah pria itu langsung cerah begitu mendengarnya. Senyumnya merekah dengan guratan kebahagiaan. Ia pun bertekad akan terus bersikap bakti kepada orang tuanya, terutama sang ibunda. 

Memang tak akan ada amalan yang mampu membalas segala jasa ibu. Namun anak dapat berbuat baik dan berbakti terhadapnya. Dengan amalan tersebut, kita dapat berkesempatan memasuki janah yang di dalamnya berlimpah kebahagiaan.