Muslimahdaily - Kisah terjadi di era kekhalifahan Umar bin Khattab. Kala itu khalifah kedua didera tangisan pilu ketika mendapat sebuah kabar dari Kota Thaif. Tak lama kemudian, beliau Radhiyallahu ‘anhu didatangi seorang pria tua yang menuntutnya. Ada apa gerangan?
Sudah menjadi kebiasaan Umar yang selalu menanyakan kabar kota ataupun negeri lain acap kali datang rombongan musafir dari luar Madinah. Saat itu sang khalifah mendapati rombongan dari Thaif yang masuk ke kota nabi. “Ada berita apa dari Kota Thaif?” tanya Umar kepada salah seorang musafir. Sang musafir itu pun kemudian mengisahkan seorang pria tua yang hendak menemui khalifah.
Pria tua bernama Umaiyah bin Askar. Ia tengah dalam perjalanan dari Thaif ke Madinah. Karena tubuhnya telah termakan usia, ia menempuh perjalanan cukup berat dan membutuhkan seorang asisten yang membantunya dan memapahnya berjalan. Ia mengisahkan sebuah musibah yang sangat berat tengah melanda ia dan istrinya yang telah renta.
Dikisahkan, Umaiyah memiliki seorang putra bernama Kilab. Setiap pagi dan petang, Kilab tak pernah sekalipun absen memerah susu untuk kedua orang tuanya yang telah lanjut usia. Hingga suatu hari, dua orang teman mengajaknya turut berjihad membela Islam. Kilab tentu tertarik turut serta karena surga dihamparkan bagi para syahid.
Maka Kilab pun mencari seorang hamba sahaya untuk melayani orang tuanya selama ia pergi berperang. Ia kemudian pergi ke medan tempur dengan mempercayakan tugasnya pada sahaya tersebut.
Suatu hari, pelayannya mendatangi orang tua Kilab di kala malam. Saat itu keduanya telah tertidur. Tanpa membangunkan keduanya, si pelayan pergi begitu saja. Lalu di tengah malam, bapak dan ibu Kilab terbangun karena kelaparan.
Ayah Kilab Umaiyah bin Askar pun kemudian merasa kecewa. Ia berkata, “Dua orang yang mengajak Kilab telah bersalah. Kilab meninggalkan bapaknya yang gemetar kedua tangannya dan ibu yang tak dapat minum susu dengan nikmat. Sungguh kedua teman Kilab telah durhaka.
Mencari pahala selain berbakti pada kedua orang tua, seperti pencari air yang mencari fatamorgana. Apakah ada kebaikan setelah menyiakan dua orangtua?” ujarnya.
Perkataan ayah Kilab ini kemudian disampaikan pada Khalifah Umar hingga tumpahlah air mata sang khalifah. Seorang Umar yang tangguh dan perkasa itu menitikkan air mata. Ketika Umaiyah datang menghadap sang khalifah, Umar bahkan kembali menangis.
Sang khalifah merasa iba dan bersalah telah mengutus pria muda berjihad dan meninggalkan orangtuanya. Meski sebetulnya Umar tak tahu menahu perihal Kilab saat putra saleh itu berangkat menjadi salah satu pasukan muslimin. Umar pun segera menulis surat kepada panglimanya yang berada di Irak, Abu Musa Al Asy’ari supaya memulangkan Kilab ke Madinah.
Begitu menerima surat dari khalifah, Abu Musa pun menemui Kilab dan memintanya pulang, “Temuilah Amirul Mukminin, wahai Kilab,” ujarnya. Mendengar perintah tersebut, Kilab ketakutan. Ia berpikir telah melakukan kesalahan besar hingga membuat khalifah murka dan memintanya menghadap.
“Akan tetapi, saya tak melakukan kesalahan apapun dan tidak pula melindungi seorang yang bersalah,” jawabnya. Namun Abu Musa tetap meminta Kilab untuk pulang.
Maka Kilab mundur dari medan perang dan pulang ke Madinah. Ia pun segera menghadap Umar Al Faruq. Umar lantas bertanya kepadanya, “Bagaimana caramu berbakti kepada orangtua?” tanya khalifah.
“Aku mendahulukan keduanya dengan mencukupi segala kebutuhan mereka. Jika hendak memerah susu untuk mereka, aku selalu memilih onta betina yang paling gemuk, paling sehat dan paling banyak susunya. Sebelum memerah, kubasuh puting onta itu, baru kemudian memerahnya dan segera menghidangkannya kepada mereka,” jawab Kilab.
Umar kemudian meminta Kilab memerah susu onta sebagaimana yang ia lakukan. Lalu khalifah Ar Rasyidin kedua menemui ayah Kilab dan menyapanya dengan lemah lembut, “Bagaimana kabarmu wahai Abu Kilab?” tanya Umar.
“Sebagaimana yang Anda lihat wahai Amirul Mukminin, aku ingin melihat Kilab sebelum aku mati,” jawabnya. Mendengarnya, Umar kembali menangis. “Keinginanmu akan terijabah, insya Allah,” kata Umar.
Sang Khalifah kemudian menyuguhkan segelas susu yang diperah Kilab. Saat meminumnya, Ayah Kilab merasa berbeda, “Demi Allah, aku mencium tangan Kilab,” ujarnya saat meminumnya. Maka didatangkanlah putra shalehnya itu kehadapan ayahanda.
Abu Kilab menangis tersedu kemudian diikuti semua orang yang menyaksikan. Mereka terharu dengan budi bakti Kilab pada orangtuanya. Selepas peristiwa itu, Kilab pun tak pernah meninggalkan orang tuanya.