Muslimahdaily - Pernah suatu hari, matahari terbit dan enggan tenggelam. Saat itu orang-orang beriman mengharapkan hari tak berganti. Jika hari berganti dan malam segera tiba, maka mereka akan kalah dalam peperangan fi sabilillah. Sang matahari pun membela mereka dan terus memancarkan cahayanya.
Adalah Yusya bin Nun, seorang nabi Allah yang memimpin pasukan mu’min tersebut. Bermula di suatu hari, Nabi Yusya mengumpulkan orang-orang untuk berjihad membela agama Allah. Beliau ‘alaihis salam pun menyeleksi mana saja yang akan diajaknya turut serta. Sang Nabi berseru,
“Janganlah turut serta dalam perangku ini, seorang pria yang baru saja menikah dan hendak berhubungan dengan istrinya. Jangan pula turut serta dalam perangku ini seseorang yang sedang membangun rumah dan belum memasang atapnya. Jangan pula seorang yang memiliki ternak kambing atau unta yang sedang bunting tua dan ia menanti kelahiran ternak tersebut.”
Setelah semua pasukan berkumpul dan menyiapkan diri, Nabi Yusya pun berangkat ke medan perang. Namun perjalanannya cukup panjang hingga saat senja hari mereka belum tiba di medan perang. Namun mereka sudah cukup dekat darinya.
Masalahnya ialah, saat itu ialah hari Jum’at. Esok hari merupakan hari Sabtu, hari di mana umat terdahulu diharamkan untuk melakukan peperangan. Sementara masyarakat di tanah Arab menggunakan kalender bulan. Hari akan berganti saat matahari berganti dengan rembulan.
Jika senja segera berganti malam, maka rencana Nabi Yusya akan sia-sia. Pasukannya harus mundur karena syariat melarang peperangan di hari Sabtu. Padahal perjalanan yang ditempuh sudah sangat jauh. Seakan-akan, mereka kalah sebelum berperang.
Maka Nabi Yusya’ pun menengadah dan berkata pada matahari, “Sesungguhnya kau diperintahkan oleh Allah. Aku pun diperintahkan oleh Allah.” Beliau berpikir, jika Nabi Yusya diperintahkan Allah untuk berperang, maka matahari pun dapat diperintahkan Allah untuk enggan terbenam.
Menengadahlah tangan Nabi Yusya’, memohon pertolongan Allah agar memerintahkan matahari tetap di tempatnya hingga peperangan usai. Sang utusan Allah memohon sebuah keajaiban yang dapat menghentikan sejenak gerak rotasi. “Ya Allah, tahanlah jalan matahari di atas kami itu.”
Lalu tiba-tiba, matahari pun tertahan di tempatnya. Doa sang nabi terkabul. Si sumber cahaya enggan terbenam karena perintah Tuhannya. Maka pasukan mu’minin pun melanjutkan perjalanannya, berjihad membela dienullah, lalu memenangkannya.
Ketika pasukan Nabi Yusya’ meraih kemenangan, siklus matahari pun kembali normal. Ia tenggelam di ufuk barat dan bulan pun muncul di langit timur. Malam tiba, hari pun berganti dengan kemenangan pasukan mu’minin atas pertolongan dan kehendak Allah.
Harta yang tak Dilalap Api
Kisah Nabi Yusya’ belum usai. Memenangkan peperangan artinya mendapatkan harta ghanimah (rampasan perang) yang harus segera diurus. Bagi umat terdahulu, ghanimah dihukumi haram, tak boleh dibagikan kepada siapa pun. Karena itulah, Nabi Yusya’ pun mengumpul dan menumpuk semua harta itu lalu membakarnya.
Namun keajaiban kembali muncul. Setelah takjub melihat matahari yang enggan terbenam, keajaiban lain datang ketika api enggan melalap harta ghanimah. Nabi Yusya pun mengira ada sebuah keganjilan. Ia pun berseru pada para pasukan, “Sungguh di antara kalian ada yang mencuri harta rampasan. Karena itu, hendaklah setiap kabilah mewakilkan satu orang untuk berbaiat kepadaku.”
Bai’at pun dilakukan. Para wakil kabilah menjabat tangan Nabi Yusya’, berjanji setia dan tak berdusta. Hingga kemudian seorang pria dari sebuah kabilah datang dan tangannya menempel pada Nabi Yusya. Tangan itu melekat dan enggan terlepas. Tahulah saga nabi Allah tentang kebenarannya. “Sesungguhnya di antara kabilahmu ada yang mencuri harta ghanimah. Oleh karena itu, hendaklah setiap orang di kabilahmu berbai’at kepadaku,” kata Nabi Yusya pada pria itu.
Bai’at kembali dilakukan pada satu kabilah yang dicurigai. Lalu muncul dua hingga tiga orang yang tangannya menempel pada Nabi Yusya’ saat berbai’at. Diketahuilah bahwasanya mereka telah mencuri harta rampasan perang dan diharuskan mengembalikannya.
Setelah semua harta yang dicuri dikembalikan. Nabi Yusya mengumpulkan kembali harta tersebut dalam tumpukan, lalu membakarnya. Kali ini, api melalap habis harta tersebut.
Demikianlah kisah Nabi Yusya dan keajaiban yang diberikan Allah. Dari matahari yang enggan tenggelam, api yang enggan melalap harta, hingga tangan yang melekat saat berbai’at. Kisah di atas kurang lebih telah dikabarkan Rasulullah melalui hadits dari Abu Hurairah. Dari kisah Nabi Yusya itulah kemudian Allah menghalalkan ghanimah untuk umat Islam.
Di akhir kisah, Rasulullah menyebutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan ghanimah. Dia mengetahui betapa lemahnya kita (manusia). Oleh sebab itu, Allah menghalalkannya.” (Muttafaqun Alaih).