Ketika Musa Menjadi Pangeran di Kerajaan Fir’aun

Muslimahdaily - Kisah Nabi Musa bayi sangat masyhur dan menjadi salah satu momen sejarah yang menakjubkan. Yakni ketika sang ibu harus menaruh Musa bayi ke dalam keranjang lalu menghanyutkannya ke sungai Nil. Kala itu, Raja Fir’aun membuat aturan kejam untuk membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil. Lalu Allah berkehendak, bayi Musa di dalam keranjang justru ditemukan oleh istri Fir’aun yang mandul bernama Asiyah. Dari situlah kisah menakjubkan tentang persiapan Musa menjadi utusan Allah bermula.

Sungguh Allah sang penulis skenario terbaik. Asiyah membujuk Fir’aun agar diizinkan mengasuh bayi yang ia temukan di sungai. Karena cintanya pada sang istri, Fir’aun pun mengizinkan. Meski sebetulnya Fir’aun tahu betul bahwa bayi terebut berparas kaum Bani Israil, dan bukan bangsa Mesir. Artinya, orang Bani Israil lah yang sengaja menghanyutkan bayi itu untuk menyelamatkan si bayi dari hukuman pembunuhan yang ia buat. Namun Fir’aun tak kuasa menolak permintaan istrinya apalagi sang ratu tak memiliki anak dan Fir’aun tak memiliki keturunan pewaris tahta.

Dimulailah kehidupan Musa di dalam istana Fir’aun. Ia diasuh Rastu Asiyah yang sangat baik hati, berakhlak mulia, dan memegang ajaran Tauhid. Sang ratu inilah yang juga disebut Rasulullah sebagai satu dari empat wanita penghulu surga selain Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Rasulullah, dan Maryam binti Imran.

Tak hanya diasuh oleh Ratu Asiyah, Musa bayi pun mendapat fasilitas terbaik kerajaan Mesir. Segala kebutuhannya terpenuhi karena statusnya telah menjadi seorang pangeran. Pun saat sang bayi membutuhkan ASI. Kerajaan mencari setiap ibu di negeri Kinanah untuk menyusui bayi angkat Asiyah dan Fir’aun. Dengan kuasa Allah, Musa bayi enggan menyusui setiap ibu yang mendaftar kecuali ibundanya sendiri, yakni Yukabid (Yocheved). Itulah cara Allah mempertemukan kembali Musa dan ibu kandungnya.

Fir’aun sempat menaruh curiga pada Yukabid. Ia bertanya dengan keras, “Siapa kau?! Anak ini menolak menyusu ibu manapun kecuali kau!”

Dalam hati, Yukabid ingin mengakui anaknya karena ia begitu girang bertemu kembali Musa yang ia hanyutkan di sungai. Namun ia tahu betul jika mengikuti perasaannya, maka Musa tak akan selamat. Ia pun menahan segala perasaannya seraya berkata, “Saya adalah wanita dengan susu yang manis dan aroma yang harum. Tak ada seorang anak pun yang menolak saya.”

Mendengar jawaban ibunda Musa, Fir’aun pun tak lagi curiga. Yukabid pun dipekerjakan Istana untuk menjadi ibu susu bagi anak angkat Asiyah. Masya Allah, Yukabid dipertemukan kembali dengan Musa, menyusui anaknya, diberi upah pula. Sementara Musa mendapat fasilitas pangeran, mendapat ibu angkat yang sangat pengasih, dan dipertemukan pula dengan ibu kandungnya.

Hanya Allah yang mampu memberi nikmat besar tersebut. Seandainya Yukabid tak mendapat ilham untuk menghanyutkan Musa bayi ke sungai Nil, maka takdir Musa hanya berakhir di penjagalan, atau di tempat persembunyian dalam keadaan serba kekurangan lagi penuh ketakutan.

Dengan rencana Allah, Musa dibesarkan di istana Fir’aun hingga ia tumbuh menjadi anak yang tampan dan kuat karena gizinya selalu terpenuhi. Ia pula menjadi anak yang cerdas karena selalu ada guru istana yang mendidik, serta menjadi anak berakhlak baik karena pengasuhan dua ibu yakni Asiyah dan Yukabid.

Ketika tumbuh menjadi seorang pemuda, Musa pun menjadi pangeran yang sempurna. Kala itu tak ada pemuda yang lebih baik dari Musa, baik dalam hal kecerdasan ataupun kekuatan tubuh. Rakyat Mesir bahkan gemar mengadukan masalah pada Musa untuk mencari solusi. Musa pun dikenal sebagai pembela kaum yang lemah di kalangan rakyat Mesir, termasuk Bani Israil yang tinggal di sana.

Demikianlah Allah menyiapkan Musa sebagai calon utusan-Nya. Ketika usianya telah matang, maka dimulailah era kehidupan baru bagi Musa untuk menjadi seorang nabi dan rasul. “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan ke- padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Qashash: 14).

Namun akan sulit bagi Musa jika menerima wahyu sementara ia masih menjadi pangeran di istana Fir’aun. Singkat cerita, terjadi sebuah insiden hingga Musa pun harus meninggalkan Kota Mesir. Ia lalu bertemu dengan Nabi Syu’aib di tengah perjalanan safarnya. Musa pun memutuskan tinggal dengan keluarga Syu’aib dan menikahi salah seorang putri sang nabi.

Musa lalu bekerja sebagai penggembala ternak milik keluarga Nabi Syu’aib. Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah bahwa semua nabi pernah menjadi penggembala. Pun Nabi Musa yang sedari kecil menjadi pangeran, ternyata pernah pula bekerja sebagai seorang penggembala. Selama 10 tahun Musa bekerja menjadi penggembala yang dengannya cukuplah bekalnya untuk menjadi penuntun suatu kaum. Apalagi Musa pula mendapat banyak pelajaran dari ayah mertuanya, yang mendahuluinya sebagai utusan Allah.

Setelah 10 tahun persiapan menjadi nabi, Musa pun berencana kembali ke negeri Mesir. Musa sempat bingung jika kembali ke Mesir, rumah mana yang harus ia tuju. Apakah rumah ibu Yukabid dan kembali ke kaumnya, Bani Israil? Ataukah pulang ke ibu angkatnya, Asiyah, dan kembali ke istana Fir’aun? Apapun itu, Musa akhirnya membuat keputusan bulat untuk kembali ke Mesir.

Kepada istrinya, Musa berkata, “Besok kita pergi ke negeri Mesir.” Sang istri sempat khawatir karena ia tahu betul di sana banyak sekali mara bahaya. Namun sang putri Syu’aib tetap menuruti suaminya. Berangkatlah Musa bersama keluarganya ke negeri Mesir. Di perjalanan menuju Mesir itulah Musa mendapat wahyu untuk kali pertama. Tepatnya di Bukit Tursina, Musa diangkat menjadi seorang utusan-Nya untuk berdakwah di negeri Mesir, dan mengajak ayah angkatnya, Fir’aun yang bengis, agar mengimani ajaran tauhid.

Rujukan: Stories of the Prophets karya Ibnu Katsir.

Add comment

Submit