Muslimahdaily - Jika ada timbangan yang mengukur beratnya ujian manusia, maka Rasulullah akan berada di peringkat pertama. Beliaulah yang mendapat ujian hidup luar biasa, yang mungkin tak akan sanggup dipikul manusia biasa. Di tengah beratnya ujian tersebut, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melibatkan istri untuk memberikan ketenangan dan kedamaian hati.

Inilah salah satu sisi romantisme nabi. Meski status beliau adalah utusan Allah, manusia paling mulia di muka bumi, namun Nabiyullah tak segan untuk curhat kepada istri beliau. Bahkan, jika ada saran dari sang istri, Rasulullah akan menerapkannya.

Salah satu kisah curhat beliau, tercatat dengan tinta emas pada sirah nabawiyyah. Itu terjadi di tahun keenam setelah hijrah, tepatnya di Bulan Dzulhijjah ketika terjadi Perjanjian Hudaibiyyah.

Saat itu, Rasulullah berangkat bersama rombongan muslimin sebanyak 1.400 orang. Mereka hendak menunaikan umrah ke Kota Makkah. Momen ini adalah kali pertama Rasulullah dan para shahabat Muhajirin untuk kembali ke kota Al Mukarramah. Suka cita tentu dirasakan begitu besarnya. Mengingat bertahun-tahun mereka meninggalkan tanah kelahiran yang selalu dirindukan.

Di antara Ummul Mukminin, Ummu Salamah lah yang saat itu mendapat giliran menemani nabi. Beliau radhiyallahu ‘anha, menyertai perjalanan nabi untuk ibadah umrah. Namun ternyata itu bukanlah perjalanan yang ringan.

Di tengah perjalanan, yakni di wilayah Dzul Hulaifah, kaum musyrikin Quraisy siap menghadang. Padahal saat itu, Rasulullah dan rombongan muslimin tengah berihram dan memberi tanda hewan sembelihan. Niatan mereka murni untuk ibadah umrah semata.

Namun kaum musyrikin melarang mereka memasuki Kota Makkah. Singkat cerita, tercetuslah Perjanjian Hudaibiyyah yang salah satu isinya melarang muslimin memasuki Makkah hingga tahun depan. Rombongan yang telah berihram itu harus kembali ke Madinah dan mengurungkan umrah hingga setahun berikutnya.

Betapa kecewanya muslimin dengan perjanjian tersebut. Mereka gagal ke Kota Makkah, gagal berumrah, dan merasa kalah menghadapi musyrikin Quraisy. Namun tidak bagi nabi.

Rasulullah menganggapnya sebuah kemenangan, apalagi dengan adanya firman Allah yang menyatakan bahwa muslimin akan menang dan memasuki Makkah tahun depan. Kelak, ayat ini akan terbukti, bahkan tak lama kemudian terjadi peristiwa Fathul Makkah. Muslimin menguasai Makkah sepenuhnya dan masa kejayaan pun tiba.

Namun setelah Perjanjian Hudaibiyyah tersebut, hanya nabi yang merasa menang. Hanya beliau yang tak diliputi kekecewaan. Rasulullah lalu menganggap umrah telah usai dan bersiap mengakhiri rukunnya.

Beliau memerintahkan kepada rombongan muslimin untuk bertahalul sebagai tanda usai umrah, meski mereka belum menginjakkan kaki ke Kota Makkah. “Bangkitlah, sembelihlah hewan kalian, kemudian bercukurlah!” seru nabiyullah.

Akan tetapi, tak ada satupun yang menjalankan perintah nabi. Bahkan para shahabat yang utama pun enggan melakukannya. Mereka semua begitu kecewa dan merasa duka cita atas perjanjian Hudaibiyyah.

Rasulullah pun mengulang perintahnya, “Bangkitlah, sembelihlah hewan kalian, kemudian bercukurlah!” Lagi-lagi, tak ada satupun yang bangkit melaksanakan perintah nabi. Bahkan Rasulullah mengulangnya tiga kali, namun tetap saja tak ada yang memenuhi perintah tersebut.

Rasulullah begitu sedih melihat kondisi umatnya saat itu. Mereka semua larut dalam kekecewaan hingga mengacuhkan perintah nabi. Padahal sebelumnya, tak pernah sekalipun perintah Rasulullah diacuhkan.

Nabi pun mendatangi Ummu Salamah dengan kesedihan mendalam. Beliau menuangkan curahan hatinya kepada sang istri, menceritakan apa yang terjadi dan apa yang beliau alami. Baru kali ini, para shahabat tak menuruti perintah karena besarnya kekecewaan mereka atas Perjanjian Hudaibiyyah.

Ummu Salamah pun mendengarkan dengan seksama. Ia menjadi pendengar yang baik untuk suami tercinta. Setelah curhat nabi usai, Ummu Salamah pun memberikan pendapatnya,

“Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin agar mereka melakukannya? Maka bangkitlah, jangan berbicara kepada siapa pun hingga engkau menyembelih hewan dan memanggil seseorang untuk mencukur rambut engkau.”

Serta merta, Rasulullah segera menerima gagasan sang istri. Beliau berdiri dan melakukan apa yang diusulkan Ummu Salamah. Sang manusia terbaik keluar tanpa bicara dengan seorang pun, lalu menyembelih hewan qurban dan memangkas rambut.

Melihat Rasulullah melakukan qurban dan tahalul, para shahabat segera bangkit dan melakukan hal sama. Seluruh rombongan muslimin lalu melakukannya hingga riuhlah suasana saat itu. Masya Allah, saran Ummu Salamah membuahkan hasil. Betapa gembiranya nabi dan hilanglah rasa dukanya.

Romantika Rasulullah dan Ummu Salamah menjadi pelajaran berharga bagi pasangan suami istri. Lihatlah bagaimana Rasulullah curhat kepada istrinya, lalu menerima dan melakukan solusi dari sang istri dengan suka cita. Tak pernah sekalipun beliau merendahkan sang istri meski status beliau adalah nabi dan rasul. Tak pernah sekalipun beliau menyepelekan pendapat istri meski status beliau adalah manusia terbaik sepanjang masa. Masya Allah.

Afriza Hanifa

Add comment

Submit