Birrul Walidain

Bakti seorang anak sering kali dikisahkan dari para pendahulu yang hidup di era awal Islam. Mereka merupakan teladan yang luar biasa dalam hal birrul walidain. Termasuk di antaranya yakni kisah bakti Kihmis bin Al Hasan At Tamimi pada ibunya.

Nama Al Husain bin Ali bin Abi Thalib tentu sudah tidak asing lagi. Beliau Radhiyallahu ‘anhuma memiliki keutamaan sebagai Ahlul bait, atau keluarga nabi. Al Husain memiliki putra yang saleh dan terkenal di kalangan tabi’in, yakni Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Alkisah, Nabi Musa ingin mendapat kabar dari Allah tentang siapakah yang akan menjadi sahabatnya di Surga kelak. Lalu diutuslah Malaikat Jibril dan berkata, “Wahai Musa, jika kau ingin mengetahui siapakah temanmu di surga, maka temuilah seorang tukang daging di pasar.”

Ternyata sifat durhaka bisa terjadi secara turun temurun. Seorang yang dahulu berbakti pada ibu bapaknya, maka kelak saat ia berumah tangga, anak-anaknya pula akan berbakti kepadanya. Sebaliknya, jika dahulu seseorang durhaka pada orang tuanya, maka kelak ia akan memiliki anak-anak yang durhaka. Naudzubillah.

Tersebutlah kisah bakti Al Fadhl bin Yahya kepada sang ayah saat keduanya berada di dalam penjara. Al Fadhl merupakan pejabat pemerintahan di era Dinasti Abasiyyah. Ia pernah menjabat gubernur di beberapa wilayah muslim dan menjadi guru bagi putra mahkota, Khalifah Al Amin, putra dari Khalifah Harun Ar Rasyid.

Kisah datang dari lisan Rasulullah ketika didatangi dua shahabat beliau, Abu Musa Al Asy’ari dan Abu Amir. Keduanya mengadukan perilaku istri mereka yang buruk hingga berkeinginan meninggalkan para istri di rumah keluarganya. Namun jawaban Rasulullah sungguh mengejutkan. “Allah telah mengampuni istri kalian,” sabdanya dengan senyum tersungging di wajah sang utusan Allah.

Ibu telah mengandung selama sembilan bulan dengan susah payah yang tak terkira. Selepas itu pula, ia harus berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan kita buah hatinya dengan kesakitan yang amat sangat luar biasa. Bukannya usai, perjuangan ibu masih berlanjut saat harus membesarkan anak, mengurus, mendidik, memenuhi keperluan dan lain sebagainya yang semua hal itu tak hanya menguras peluh namun juga air mata. Itu dilakukan ibunda, sejak kita lahir hingga dewasa kini, 24 jam tanpa jam kerja, tanpa gaji, tanpa istirahat, tanpa cuti.

Alkisah di era kekaisaran Romawi, pasukan muslimin sering kali menjadi tawanan karena mempertahankan keimanan di hadapan raja. Mereka hidup di dalam sel, dibelenggu dengan rantai, dipaksa kerja rodi. Tak ada seorang pun yang mampu meloloskan diri dari tahanan Romawi.

Artikel Selanjutnya...