Muslimahdaily - Ialah Shafiyyah binti Huyai bin Akhthab, seorang putri di sebuah negeri makmur bernama Khaibar yang terkenal dengan bentengnya yang kokoh dan perkebunannya yang subur. Sayangnya, masyarakat Khaibar menganut agama Yahudi. Pun demikian dengan Shafiyyah.
Takdir Shafiyyah mulai berubah ketika dakwah Islam datang ke kotanya pada tahun 6 Hijriyyah. Namun para pemimpin Yahudi Khaibar enggan menerima dakwah tersebut. Maka pasukan muslimin yang dipimpin langsung oleh Rasulullah sebagai panglima perang pun mengepung benteng Khaibar. Pengepungan yang berlangsung selama 13-19 hari tersebut membuat Yahudi Khaibar menyerah. Mereka memilih berdamai dengan muslimin.
Pasukan Rasulullah belum beranjak dari tanah Khaibar, namun kaum Yahudi sudah melanggar perjanjian damai. Dalam aksi pengkhianatan itu, suami Shafiyyah yang bukan lain adalah putra mahkota Khaibar, Kinanah bin Rabi’ bin Abil Huqaiq, tewas terbunuh. Pasukan muslimin pun memasuki kota dan menyerang siapa saja dari kalangan pria yang melakukan perlawanan. Adapun para wanita dan anak-anak dikumpulkan di suatu tempat agar tak terlibat peperangan. Shafiyyah berada di antara mereka.
Usai peperangan yang dimenangkan muslimin, seorang shahabat yang terkenal dengan parasnya yang tampan, Dihyah Al Kalbi mendatangi Rasulullah dan meminta seorang budak wanita dari tawanan Khaibar. “Wahai Rasulullah, berilah saya seorang budak wanita dari tawanan Khaibar,” pintanya.
Rasulullah pun mengizinkannya, “Pergi dan ambillah seorang budak wanita dari mereka.” Namun ternyata Dihyah mengambil Shafiyyah untuk dijadikan budak. Padahal sudah menjadi kebiasaan Rasulullah untuk memberikan “posisi” yang sama seperti dahulu kepada para tawanan perang yang mau berislam. Seorang pejabat akan diberikan kedudukan di negeri muslim, seorang hartawan akan diberikan harta untuk membangun kehidupan baru. Pun demikian dengan seorang putri. Akan diberi kedudukan hormat setara seperti semula.
Hal itulah yang membuat seorang shahabat Rasul mengadu, “Wahai Rasulullah, Anda memberikan Shafiyyah binti Huyai kepada Dihyah, padahal Shafiyyah adalah wanita mulia lagi terhormat di kalangan Bani Quraizhah dan Bani An Nadhir. Shafiyyah hanya pantas untuk Anda,” ujarnya.
Ayah Shafiyyah, Huyai bin Akhthab memang lah pemimpin Yahudi Bani Nadhir. Sementara sang ibunda, Barrah binti Syamuel merupakan wanita terpandang dari Bani Quraizhah. Baik Bani Nadhir maupun Quraizhah merupakan dua kabilah besar bangsa Yahudi di Kota Madinah. Sebelum Rasulullah hijrah, kedua kabilah tersebut saling bersekutu dengan suku Aus dan Khazraj yang saat itu masih musyrik. Namun ketika datang kabar diutusnya Rasulullah, justru Aus dan Khazraj yang menerima Islam, sementara kaum Yahudi Nadhir dan Quraizhah menolaknya. Sebagaimana diketahui, ketika Rasulullah hijrah, Aus dan Khazraj merupakan kalangan muslimin Anshar.
Dengan silsilah yang terhormat, ditambah bersuamikan penguasa Khaibar, maka status Shafiyyah begitu tinggi bagi kabilahnya. Maka Rasulullah pun meminta Dihyah membawa Shafiyyah ke hadapannya.
Rasulullah kemudian mengenalkan Shafiyyah pada Islam. Shafiyyah menyambutnya dengan suka cita. Ia bersedia memeluk Islam dan bergabung dengan komunitas muslim. Maka Rasulullah pun memerdekakan Shafiyyah dari status budaknya. Kepada Dihyah, Rasulullah berkata, “Ambillah budak wanita dari tawanan Khaibar selain Shafiyyah.”
Setelah masa iddah (masa menunggu atas kematian suami) Shafiyyah usai, Rasulullah kemudian menyuntingnya. Saat pernikahan sederhana itu, Shafiyyah yang parasnya ayu makin betambah kecantikannya setelah dirias oleh Ummu Sulaim. Shafiyyah pun menjadi salah satu janda yang dinikahi Rasulullah. Sang putri Khaibar yang beragama Yahudi kemudian menjadi Ummul Mukminin, ibunda kaum muslimin.
Ketika Rasulullah melihat wajah Shafiyyah setelah pernikahan keduanya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melihat sebuah bekas memar berwarna kehijau-hijauan di wajah Shafiyyah. Rasulullah pun bertanya, “Apa ini?” Shafiyyah menjawab, “Wahai Rasulullah, aku pernah bermimpi seolah-olah bulan menghilang dari tempatnya kemudian jatuh ke pangkuanku. Sungguh, demi Allah, saat itu aku sama sekali tak memikirkan Engkau. Kemudian aku menceritakan mimpi itu kepada suamiku (Kinanah). (Mendengarnya), ia segera menampar wajahku sembari membentak, ‘Kau menginginkan raja yang berada di Madinah itu, hah?!’,” demikian kisah Shafiyyah.
Ternyata sebelum kedatangan Rasulullah ke Khaibar, Shafiyyah sebetulnya telah mendapat tanda menakjubkan melalui mimpi tersebut. Ia telah diberi tanda bahwa bulan benderang itu, yakni Rasulullah, akan menjadi pendamping hidupnya hingga akhir hayat. Shafiyyah hidup cukup lama setelah wafatnya Rasulullah. Beliau rhadiyallahu ‘anha meninggal di era kekhalifahan Muawiyyah bin Ani Sufyan, atau awal mula Dinasti Umayyah.
Sumber: Ar Rahiq Al Makhtum