Muslimahdaily - Di era Nabi Musa, orang-orang beriman sangat takut memperlihatkan keimanannya. Fir’aun sangatlah kejam dan sadis dalam menghukum pengikut agama yang dibawa sang utusan Allah. Alhasil, mereka para mu’minin menyembunyikan sebisa mungkin keimanan mereka. Ialah Masyithah salah satunya.
Sang wanita mukminah bekerja di istana Fir’aun sebagai seorang pelayan. Ia bertugas menjadi tukang sisir putri istana. Tak hanya Masyithah, seluruh keluarganya pun telah mengimani bahwasanya tiada Tuhan selain Allah. Mereka meyakini dan menjadi pengikut Nabiyullah Musa.
Keimanan Masyithah tak pernah terbongkar meski bekerja di ‘kandang macan’. Putri Fir’aun yang dilayaninya pun tak pernah menyadari keimanannya. Bahkan ia diyakini sebagai jalan keislaman istri Fir’aun bernama Asiyah yang terkenal keshalihannya karena disebut Rasulullah sebagai wanita utama penghuni surga.
Namun sudah sunnatullah bahwa seorang yang mengatakan beriman akan diuji keimanannya. Sebagaimana dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al ‘Ankabut: 2).
Sunnatullah itu pun berlaku bagi Masyithah agar keimanannya terbukti dan menjadi salah satu hamba yang mulia di sisi-Nya. Suatu hari, Masyithah tak sengaja menjatuhkan sisir dari tangannya. Spontan, ia menyebut asma Allah karena kaget, “Allah!” ujarnya. Kagetlah putri Fir’aun saat mendengarnya dan segera menghardik Masyithah, “Siapa itu Allah? Apa Allah itu tuhanmu?!”
Bibir Masyithah kelu, tak mampu menjawabnya. Ia sangat takut dan yakin Fir’aun akan menghabisinya jika rahasianya terbongkar. Putri Fir’aun pun makin geram, “Mengapa tak menjawab?! Apa kau punya tuhan selain ayahku?!!”
Masyithah mengumpulkan keberaniannya. Lisan tak boleh berdusta akan keimanannya. Dengan tegas, Masyithah pun menjawab, “Allah adalah Tuhanku, Tuhan ayahmu, dan Tuhan seluruh alam.”
Sang putri pun kaget mendengar jawaban pelayannya yang selama ini dianggap setia. Ia segera bangkit dan menemui ayahandanya, Fir’aun yang bengis. Ia melaporkan pada Fir’aun tentang keimanan Masyithah pada Allah, tuhan Musa. Fir’aun pun marah bukan main. Ia tak menyangka pelayan di istananya merupakan pengikut Musa.
Dipanggillah Masyitah ke hadapan Fir’aun. Masyithah nampak tegar dan bersiap menghadapi sang penguasa negeri Kinanah. “Apa kau menyembah sesuatu selain aku?!” tanya Fir’aun dengan suara yang sangat keras hingga istana gempar dan penghuninya merasa sangat takut. Namun tidak dengan Masyithah. Ia menepis ketakutannya dan bertekad mempertahankan keimanannya, apapun yang akan terjadi.
“Ya, saya menyembah Allah, tuhanku, tuhanmu dan tuhan segala sesuatu,” Masyithah menjawab jelas. Fir’aun sangat marah saat mendengarnya. Diperintahkanlah para pengawal istana untuk mengikat Masyithah dan menaruh seekor ular besar di hadapannya. Namun Masyitah tetap tegar di atas keimanannya.
Fir’aun makin geram karena Masyithah tak menanggapi ancamannya. Ia pun memanggil Hamman, tangan kanannya dan memerintahkan agar menghukum mati Masyithah dan keluarganya. Hamman beserta para pengawal istana pun segera melabrak rumah Masyithah. Diseretlah seluruh keluarganya ke tanah lapang.
Lebih kejam lagi, Hamman meminta pengawal membuat sebuah lubang besar di tanah dan merebus air di dalamnya. Rakyat kemudian diperintahkan menyaksikan eksekusi mengerikan itu. Masyithah dan keluarganya, yakni suami dan empat orang anak sudah siap menghadapi kekejaman Fir’aun dan Hamman.
Air panas yang mendidih sudah siap di hadapan semua orang. Siapa pun yang melihatnya merasa ngeri dan menjauh karena takut terkena cipratannya. Namun Fir’aun ternyata hendak memasukkan Masyithah dan keluarganya ke dalam air panas yang mendidih itu. Sebelum dimasukkan ke dalam air yang amat sangat panas itu, Fir’aun bertanya kembali tentang keimanan mereka. Namun tanpa ragu Masyithah dan keluarganya menjawab lantang, “Allah adalah tuhanku, tuhan Fir'aun dan tuhan seluruh alam.”
Satu per satu keluarga Masyithah pun segera diseret dan dimasukkan ke dalam air mendidih. Pertama adalah suaminya, lalu anak-anaknya. Terakhir, Masyitah lah yang mendapat giliran. Ia menggendong salah seorang anaknya yang masih bayi.
Saat melihat kubangan air mendidih, Masyithah sempat ragu karena kasihan melihat bayi yang digendongnya. Hampir saja Masyithah menyerah dan memilih mengorbankan keimanannya karena bayi malang itu. Melihat Masyithah nampak ragu, Fir’aun dan Hamman nyengir kuda. Keduanya merasa rencananya berhasil.
Namun tiba-tiba, dengan izin Allah, bayi yang digendong Masyithah bisa berbicara. Kepada ibunda, sang bayi berkata, “Wahai ibunda, jangkah engkau takut. Sesungguhnya surga menanti kita.”
Keajaiban tersebut membuat keteguhan Masyithah kembali menggelora. Kesedihan dan keraguannya sirna sudah. Keimanannya kepada Allah makin sempurna. Bersama sang bayi, Masyithah pun dimasukkan ke dalam air mendidih yang tungku apinya menyala-nyala. Masyithah dan keluarganya terebus dalam air dan meninggal di atas keimanan kepada Allah Ta’aa.
Kisah Masyitah disebut Rasulullah dalam sebuah hadits yang derajatnya masih diperdebatkan kalangan ahlu hadits. Namun Ibnu Katsir mengatakan sanad hadits tersebut tak mengapa. Disebutkan dari Atha’ bin Saib, “Saat perjalaan isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, Rasulullah melewati tempat yang aromanya sangat harum semerbak kasturi.
Rasulullah pun bertanya pada Jibril, “Wahai Jibril, keharuman apakah ini?” Jibril menjawab, “Ini adalah keharuman Masyithah, tukang sisir putri Fir’aun.” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kelebihan Masyithah?” (Jibril pun mengabarkan kisah Masyitah yang kurang lebih seperti disebutkan di atas).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Thabrani).