Muslimahdaily - Salah satu imam besar muslimin, Abu Hanifah terkenal sangat wara’ dan berhati-hati akan memilah halal dan haram. Hidup beliau sederhana dan menjaga diri dari segala hal yang diharamkan Allah, termasuk perihal sandang ataupun pangan. Sebuah kisah telah membuktikannya.
Dikisahkan suatu hari Baitul Mal di Kota Kufah kehilangan seekor kambing. Hewan ternak yang seharusnya menjadi hak kaum dhuafa itu kabur dan tak ada petugas yang mampu menemukannya. Hingga beberapa waktu, kambing itu tak juga ditemukan.
Abu Hanifah pun mendengar kabar hilangnya si kambing. Beliau kemudian segera mencari tahu berapa umur maksimal seekor kambing. Sang imam menanyakan hal tersebut pada orang-orang yang biasa menernakkan kambing. Lalu dikatakan pada beliau bahwa kambing dapat bertahan hidup maksimal tujuh tahun lamanya. Mengapa Abu Hanifah mencari tahu hal tersebut?
Ternyata sang imam yang faqih ini hendak berpuasa daging kambing tujuh tahun lamanya. Beliau berpuasa selama usia maksimal si kambing. Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Apalagi daging kambing merupakan salah satu makanan utama bangsa Arab. Namun Abu Hanifah memutuskan untuk tak menyentuh daging kambing sepanjang usia hewan ternak tersebut, yakni tujuh tahun. Lalu apa kaitannya kambing Baitul Mal yang hilang dan puasa dari daging kambing?
Rupanya, Abu Hanifah takut jika memakan kambing ternyata dagingnya diambil dari kambing Baitul Mal yang hilang. Selama kambing itu hidup, ada kemungkinan seorang menemukannya, menjualnya, lalu tanpa sengaja Abu Hanifah membeli dan memakannya. Padahal sebagaimana diketahui, harta Baitul Mal hanyalah boleh dinikmati kaum fakir miskin. Mengingat Baitul Mal merupakan lembaga pengumpul zakat, infak dan sedekah yang ada di pemerintahan muslim.
Abu Hanifah merasa hatinya berberat hati. Beliau tak ingin memakan sesuatu yang diharamkan Allah. Meski sebetulnya dalam syariat tidak mengapa seandainya kebetulan memakan kambing yang hilang tersebut. Tidaklah berdosa jika memakannya karena tidak mengetahui bahwasanya daging yang dimakan merupakan kambing milik Baitul Mal.
Namun itulah sikap kehati-hatian Abu Hanifah. Beliau terkenal memiliki sifat wara’, yakni berhati-hati pada hal yang haram, makruh, bahkan syubhat (belum jelas halal haramnya). Sungguh sang imam memberikan suri tauladan yang luar biasa kepada umat. Apalagi di masa sekarang, begitu banyak bertebaran makanan dan minuman yang belum jelas kehalalannya, baik sumbernya maupun komposisinya.
Tak hanya perihal makanan, di waktu yang lain, Abu Hanifah juga bersikap sangat Wara hingga harus berpanas-panasan di bawah matahari yang sangat terik di tanah Arab. Kisah ini disampaikan oleh Yazid bin Harun. Suatu hari ia melihat sang imam duduk di bawah terik matahari. Padahal di dekatnya ada rumah seseorang yang terasnya dapat menjadi tempat berteduh Abu Hanifah dari panas.
Melihatnya, Yazid tentu terheran-heran. Ia pun menghampiri sang imam seraya bertanya, “Wahai Abu Hanifah, apakah tidak sebaiknya jika engkau berpindah ke tempat yang teduh di sana?” sembari mengisyaratkan rumah yang ada di dekatnya.
Abu Hanifah lalu menjawab, “Pemilik rumah itu memiliki hutang kepadaku beberapa dirham. Jadi saya tak suka jika duduk di bawah rumahnya sehingga hal itu menjadi sebuah upah (balas jasa).”
Jawaban Abu Hanifah sangat mengejutkan dan membuat Yazid takjub akan sikap Wara beliau. Sang alim ulama bahkan enggan bernaung di rumah seorang yang berpiutang padanya hanya karena takut dianggap Allah sebagai pengambilan balas jasa karena telah memberikan pinjaman. Lebih takut lagi jika balas jasa tersebut terjatuh pada riba. Masya Allah, padahal sekedar bernaung dari teriknya panas pun beliau enggan. Bagaimana dengan orang-orang atau muslimin pada umumnya yang biasa menganggap kebaikan layak dibalas, atau bahkan mengambil uang tambahan dari piutang atau riba.
Tentu sikap kehati-hatian Abu Hanifah bukanlah menjadi hal wajib bagi muslimin. Namun sudah tentu pula sikap tersebut menjadi teladan yang patut diikuti. Bagaimana beliau bersikap Wara, berhati-hati pada sesuatu yang haram, makruh dan syubhat, merupakan contoh nyata yang dapat dijadikan suri tauladan muslimin hingga kini.