Muslimahdaily - Ialah Imran bin Hiththan bin Zhabyan, seorang tabi’in yang menjadi panutan. Ia terkenal sebagai pakar hadits sehingga orang-orang berbondong-bondong ke majelisnya. Mereka menuntut ilmu dari Imran sang alim ulama.
Ia merupakan murid langsung para shahabat Rasulullah. Hadits-hadits ia dengar langsung dari lisan-lisan mereka rhadiyallahu ‘anhum. Imran juga terkenal sangat giat dan faqih perihal ilmu dien. Karena kafaqihannya, Imran pun mendapat julukan matanya para ulama. Padahal usianya masih sangat muda.
Hingga suatu hari, Imran mengenal seorang gadis dari keluarga besarnya. Ia ingin menikahi putri pamannya bernama Hamnah. Saat itu, ia berkeinginan menyelamatkan Hamnah dari pemikiran menyimpang. Pasalnya, Hamnah merupakan pengikut pemahaman Khawarij yang melahirkan banyak gembong teroris.
Pemahaman tersebut terkenal sangat bermudah-mudahan dalam mengkafirkan orang dan menumpahkan darah. Inilah pemahaman dibalik pembunuhan Khalifah Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib. Rasulullah bahkan telah memperingatkan bahaya mereka para Khawarij yang penampakannya islami namun pemikirannya menyimpang jauh dari ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Karena memahami bahaya Khawarij yang disebut dalam hadits dan ajaran para shahabat, Imran pun merasa sangat khawatir. Ia sedih putri pamannya terjatuh dalam pemahaman tersebut. Ia lalu bertekad meluruskan Hamnah kembali pada ajaran Rasulullah sesuai pemahaman para shahabat nabi.
Imran kemudian mendatangi pamannya untuk melamar Hamnah. Ia yakin bisa meluruskan Hamnah jika si wanita menjadi istrinya. Berlangsunglah pernikahan antara Imran dan Hamnah yang parasnya sangat cantik jelita. Rumah tangga pun dibangun Imran dengan cita-cita tinggi mengajak Hamnah bertaubat dan membangun keluarga diatas sunnah Rasulullah dan para shahabatnya.
Namun cita-cita tinggal lah angan saja. Impiannya meluruskan pemahaman Hamnah ternyata sirna sudah. Setelah menikah, Imran ternyata terbelenggu fitnah. Benarlah bahwa fitnah terbesar bagi pria adalah wanita. Bukannya mempengaruhi sang istri, Imran justru dipengaruhi oleh istrinya. Imran terjatuh pada pemahaman Khawarij. Luntur sudah segala ilmu yang ia pelajari dari shahabat nabi.
Imran bin Hiththan sang mata para ulama, seorang yang faqih dalam agama, siapa sangka dapat terjerumus pada fitnah wanita. Orang-orang terkejut ketika Imran tampil menjadi tokoh khawarij. Murid-muridnya tak percaya gurunya yang shaleh dapat terfitnah. Para ulama sahabatnya pun sangat menyayangkan dan menyesali. Umat Islam kehilanggan seorang ulama faqih dari kalangan tabi’in.
Sefaqih dan sealim apapun seseorang, tetap saja hati manusia mudah tergelincir oleh fitnah. Kisah Imran bin Hiththan hanyalah satu dari sekian banyak kasus serupa. Betapa banyak muslimin yang terfitnah setelah menikah. Seorang pria berkeinginan menikahi seorang wanita agar wanita tersebut menjadi shalihah, atau berhijab, mengaji, bermajelis, dan sebagainya. Pria itu lalu menikahinya. Namun pada kenyataannya justru si pria yang futur iman dan jauh dari agama.
Bahkan yang lebih menyedihkan di masa kini, tak sedikit pemuda muslim yang menikahi wanita non-muslim dengan harapan dapat menjadikan wanita itu muslimah. Namun pada kenyataannya, justru keimanan si pria yang kemudian luntur tak tersisa. Ia justru terbawa sang istri dan menjadi murtad. Naudzubillah. Jangankan pria biasa, seorang alim sekelas Imran sang ulama tabi’in pun dapat terfitnah wanita.
Hal ini pun berlaku pula sebaliknya. Seorang wanita pula dapat terfitnah oleh pria. Sejatinya setiap insan dapat mudah terjerumus fitnah. Tak hanya melalui pintu pernikahan, fitnah dapat datang dari pintu mana saja, dari pertemanan, pergaulan, bahkan bacaan dan tontonan. Seorang yang dahulu dikenal alim, tiba-tiba kembali bermaksiat. Wanita yang dahulu berhijab, tiba-tiba menjadi wanita pamer aurat.
Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah. Dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hati anak Adam semuanya ada di antara dua jemari Ar Rahman, seperti hati satu orang. Dia palingkan kemana Dia kehendaki.” Ibnu ‘Amr lalu berkata, Rasulullah kemudian berdoa, “Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami pada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim).