Muslimahdaily - Seorang budak hidup menderita di tanah Romawi. Ia dahulu merupakan remaja gagah putra seorang hakim pula. Namun tentara Romawi menyerang tempat tinggalnya di Kota Bashrah. Ia ditangkap dan dijadikan budak dengan kejam. Ialah Suhaib bin Sinan, atau lebih dikenal dengan nama Suhaib Ar Rumi.
Gelar Ar Rumi disandangkan kepadanya meski ia bukanlah orang Romawi. Namun karena menjadi budak bangsa Romawi dalam waktu yang sangat lama, gaya bicaranya berlogat orang-orang Romawi. Karena itulah ia dipanggil Ar Rumi meski berparas Arab.
Suatu hari, ia dijual kepada salah satu orang kaya asal Makkah bernama Abdullah bin Jad’an. Tuannya kali ini sangat baik dan melihat ada hal berbeda dari diri Suhaib. Pasalnya, Suhaib memiliki kualitas yang tak layak menjadi budak. Ia sangat cerdas, baik hati, dan semangat dalam bekerja. Melihat hal tersebut, Abdullah pun membebaskan Suhaib dari status budaknya.
Di kota Makkah, Suhaib memulai hidup barunya sebagai orang merdeka. Ia memilih menjalani hidup dengan menjadi pedagang. Ternyata Suhaib sangat cakap dalam berdagang hingga ia pun mampu mengumpulkan pundi-pundi uang yang sangat banyak.
Suhib yang dahulu berstatus budak dan tak memiliki harta sepeser pun, kini mampu membalikkan kehidupannya dengan menjadi salah satu pedagang tersukses di tanah Makkah. Namun kelak kesuksesannya ini akan ia lepaskan begitu saja. Kelak hartanya akan ia biarkan begitu saja.
Waktu berlalu, tibalah masa kelahiran Islam. Makkah dihebohkan dengan adanya seorang utusan Tuhan. Suhaib mendengar kabar tersebut dan merasa tertarik.
Ia pun menuju rumah Al Arqam tempat di mana Rasulullah berdakwah di masa-masa awal Islam. Begitu mendengar firman Allah dibacakan nabi, Suhaib pun beriman dan bersyahadat.
Ia menjadi salah satu as sabiquna awalun, yakni orang yang pertama masuk Islam. Bahkan Rasulullah pernah berkata, “Empat orang pendahulu (yaitu) aku adalah yang paling awal dari kalangan Arab, Suhaib paling awal dari kalangan Romawi, Bilal paling awal dari orang-orang Habasyah, dan Salman yang paling awal dari orang Persia.”
Begitu menjadi muslim, Suhaib yang dihormati sebagai pedagang sukses tiba-tiba harus menghadapi gangguan dan siksaan kaum kafir Quraisy. Namun ia menghadapinya dengan tegar sebagaimana ketegarannya saat menjadi budak bertahun-tahun lamanya. Namun kali ini kesabarannya berbuah surga karena ia tegar di atas keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Suhaib terus bersabar hingga puncaknya terjadi saat panggilan hijrah tiba. Ia menyambut panggilan tersebut tanpa ragu. Dibawanya harta yang ia kumpulkan dengan kerja keras, menuju Madinah Al Munawarah.
Namun di tengah perjalanan, kaum kafir Makkah mencegatnya seraya berkata, “Wahai Suhaib, engkau datang kepada kami dalam keadaan miskin dan hina, kemudian hartamu menjadi banyak setelah tinggal di daerah kami. Setelah itu terjadilah di antara kita apa yang terjadi (perselisihan karena Islam). Engkau boleh pergi, tapi tidak dengan semua hartamu.”
Suhaib pun menyerahkan semua hartanya begitu saja, tanpa ragu dan duka. Ia tak memedulikan semua hartanya yang banyak itu. Ia memilih meninggalkannya demi berhijrah menuju Rasulullah.
Sampailah ia ke Madinah tanpa harta sepeser pun, sebagaimana yang ia alami beberapa tahun lalu saat tiba di Kota Makkah. Ia pun segera menjumpai Rasulullah begitu tiba di Madinah. Tanpa bercerita tentang apa yang ia alami, Rasulullah menyambutnya dengan berkata,
“Perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya, perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya.”
Abu Yahya merupakan kunyah dari Suhaib. Rasulullah ternyata mengetahui apa yang terjadi dan dialami Suhaib saat perjalanan menuju Madinah. Rasulullah tahu betul bahwa Suhaib meninggalkan hartanya hingga beliau menghibur Suhaib dengan mengatakan bahwa yang dilakukan Suhaib merupakan perdagangan yang sangat menguntungkan.
Sementara Suhaib terheran-heran mengapa Rasulullah mengetahui apa yang menimpanya saat di perjalanan. Ia pun berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang melihat apa yang kualami.”
Beliau Shallallahu‘alaihi wa sallam lalu menjawab, “Jibril yang memberi tahuku.”
Lalu saat itu, turunlah ayat tentangnya, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207)
Maha benar Allah dan nabiyullah. Dalam pandangan manusia, Suhaib memang rugi dan kehabisan hartanya. Namun Allah lah yang membalas keikhlasan hamba-hamba-Nya. Suhaib kembali menjadi orang yang kaya raya di Madinah. Hartanya bahkan berlipat-lipat lebih banyak daripada harta yang ia tinggalkan saat berhijrah.
Suhaib bahkan terkenal sebagai shahabat yang amat sangat dermawan. Saking dermawannya Suhaib, Umar bin Khaththab pernah menganggap Suhaib telah membuang-buang hartanya alias mubazir dalam bersedekah. Umar melihat, Suhaib membagikan hartanya kepada semua orang dan tak tepat sasaran.
Umar berkata kepada Suhaib, “Wahai Suhaib, aku tidak melihat kekurangan pada dirimu kecuali dalam tiga hal. Pertama, engkau menisbahkan diri sebagai orang Arab, padahal logatmu logat Romawi. Kedua, engkau berkunyah dengan nama Nabi, dan ketiga engkau orang yang mubadzir.”
Suhaib pun menjawab, “Aku seorang yang mubadzir? Tidaklah aku berinfak kecuali dalam kebenaran. Adapun kunyahku, Rasulullah sendiri yang memberinya. Dan aku berlogat Romawi, karena sejak kecil aku ditawan orang-orang Romawi. Sehingga logat mereka sangat berpengaruh padaku.”
Umar pun menerima penjelasan Suhaib dan menyanjungnya. Saat wafat, sang khalifah kedua bahkan berwasiat agar jenazahnya dishalati muslimin dengan Suhaib sebagai imamnya. Wasiat itu pun dilaksanakan. Suhaib memimpin shalat jenazah Umar bin Khaththab.
Masya Allah, sungguh Suhaib menjadi teladan yang sangat mulia bagi muslimin masa kini. Tentang kesabaran, keikhlasan, dan kegigihannya. Suhaib Ar Rumi Radhiyallahu ‘anhu, semoga Allah memberikannya tempat yang nyaman di surga.