Muslimahdaily - Terorisme yang mengatasnamakan Islam dan jihad telah ada sejak era Khalifah Ar Rasyidin. Insiden paling memilukan terjadi di era Ali bin Abi Thalib. Mereka para teroris khawarij enggan berada di bawah pemerintahan muslim dan menganggap Ali sebagai pemimpin kafir yang harus diperangi.
Kala itu, para teroris Khawarij memisahkan diri dan berkumpul di suatu daerah. Jumlahnya mencapai 6 ribu orang. Mereka berkumpul untuk memerangi Ali dan pengikutnya. Mereka ingin mendirikan pemerintahan sendiri yang menurut mereka Islami. Padahal Ali merupakan shahabat Rasulullah, as sabiquna awalun, dijanjikan surga pula. Namun mereka keliru menafsirkan Al Qur’an hingga berani mengafirkan Ali dan para shahabat yang mengikutinya.
Para shahabat pun mengkhawatirkan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Setiap mengunjunginya, mereka selalu memperingatkan, “Wahai Amirul Mukminin, mereka telah berkumpul untuk memerangimu.”
Namun Ali enggan menumpahkan darah. Sepupu Rasulullah tersebut selalu menjawab, “Biarkan mereka, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan sungguh mereka akan melakukannya.”
Hingga Ibnu ‘Abbas pun merasa harus menemui para teroris khawarij. Sang shahabat Rasulullah yang paling paham tafsir Al Qur’an itu ingin berdialog dengan mereka. berangkatlah Ibnu Abbas menemui Ali untuk meminta izin.
“Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat dhuhur, aku akan mendatangi mereka (teroris Khawarij) untuk berdialog.”
Mendengarnya, Ali bin Abi Thalib pun mengkhawatirkan Ibnu Abbas. Ia sangat khawatir sang shahabat akan ditawan atau bahkan dibunuh. “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!” kata Ali.
Ibnu Abbas pun menenangkan khalifah, “Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.”
Akhirnya, Ali pun mengizinkan. Ibnu Abbas segera bersiap dengan mengenakan jubah terbaik yang ia miliki. Ia merapihkan rambutnya, lalu menuju sarang teroris dengan berani.
Begitu memasuki wilayah teroris khawarij, Ibnu Abbas dibuat takjub. Ia mendapati para teroris itu bukanlah orang yang gemar hiburan apalagi maksiat. Mereka justru orang-orang yang nampak sangat islami. Ibadah mereka luar biasa bagusnya bahkan tak ada yang kaum manapun yang beribadah lebih bagus dari mereka.
Ibnu Abbas mengisahkan, “Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pusat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
Ibnu Abbas lalu mengucapkan salam kepada mereka. Serempak, mereka para teroris menyambut sang shahabat Rasul. “Marhaban, wahai Ibnu ‘Abbas. Ada gerangan apa yang membawamu kemari?”
Ibnu Abbas pun menjawab dengan kalimat yang cerdas agar para teroris itu sadar posisi mereka, “Sungguh aku datang pada kalian dari sisi sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah yang kepada merekalah Al Qur’an diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Al Qur’an daripada kalian.”
Ia tak menyebut datang dari sisi Ali Khalifah Ar Rasyidin, namun menyebut status Ali yang sangat tinggi, yakni menantu Rasulullah. Ia pun menyebut muhajirin dan Ashar di mana mereka lah yang pertama kali memeluk Islam, mereka lah yang pertama kali mendengar Al Qur’an, dan mereka lah yang hidup bersama Rasulullah. Artinya, mereka pula yang lebih memahami agama Allah dibanding kelompok teroris khawarij.
Namun bukannya tersinggung, para teroris itu justru berbisik-bisik. Masing-masing mereka melarang untuk berdialog lebih lanjut dengan Ibnu Abbas. Salah seorang mereka bahkan berkata tanpa ilmu,
“Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yaitu Ibnu ‘Abbas). Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar,’ (QS. Az Zukhruf: 58).”
Para teroris pun menyetujui orang tersebut. Terlihatlah bagaimana mereka menafsirkan Al Qur’an sesuka hati tanpa ilmu. Dengan kebodohannya, mereka membawa-bawa ayat Allah untuk menjelekkan Ibnu Abbas. Padahal Ibnu Abbas adalah orang yang diberi anugerah Allah atas doa Rasulullah, “Ya Allah, faqihkan ia dalam agama dan ajarkanlah ia tafsir.”
Ibnu Abbas lah shahabat yang paling ahli dalam tafsir Al Qur’an. Tak ada yang mampu menandingi kemampuan Ibnu Abbas dalam tafsir kitabullah. Itu karena ia mendapat doa langsung dari Rasulullah dan tidaklah sang utusan Allah berdoa kecuali pasti dikabulkan.
Ibnu Abbas menunggu respon dari para teroris khawarij. Kemudian muncul dua atau tiga orang yang berani mendebat Ibnu Abbas. “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”
Ibnu Abbas pun segera mengambil kesempatan. Kepada mereka ia berkata, “Wahai kaum, datangkan untukku alasan mengapa kalian membenci menantu Rasulullah serta membenci sahabat Muhajirin dan Anshar. Padahal kepada merekalah Al Qur’an diturunkan. Tidak ada pula seorang pun dari sahabat yang bersama kalian, dan ia (Ali) adalah yang paling mengerti dengan tafsir Al Qur’an?”
Mereka para teroris pun menjawab, “Kami memiliki tiga alasan untuk itu.”
Ibnu Abbas bertanya, “Sebutkan apa itu.”
Wakil kelompok teroris menjawab, “Pertama, sesungguhnya dia (Ali) telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin) dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman, ‘Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah,’ (QS. Yusuf: 40). Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah.”
Ibnu Abbas mendengarkan seraya berkata, “Ini yang pertama, lalu apa lagi?”
Si teroris melanjutkan, “Yang kedua, sesungguhnya dia telah berperang dan membunuh, tapi kenapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka yang diperangi itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”
Maksud ucapan si teroris ialah Perang Jamal yang terjadi akibat fitnah yang disebar di antara Ali bin Abi Thalib dan Ummul Mukminin Aisyah. Keduanya hendak melakukan islah atau perbaikan atas fitnah yang tersebar di antara muslimin. Namun ternyata ada seorang munafik yang menyamar muslim kemudian melakukan serangan.
Fitnah makin tersebar dan pengikut Ali berperang melawan pengikut Aisyah. Pengikut Ali mengira serangan itu datang dari pengikut Aisyah, begitu juga sebaliknya. Inilah fitnah besar hingga muslimin berperang satu sama lain. Sementara Ali, Aisyah dan shahabat Rasulullah yang lain tak ada satu pun di antara mereka yang turut serta dalam peperangan tersebut. Perang Jamal kemudian dijadikan isu kaum kafir dan munafik untuk menjatuhkan keutamaan para shahabat nabi.
Para teroris Khawarij termasuk yang termakan isu tersebut. Mereka mengira Ali telah menyerang Aisyah dan pengikutnya, namun enggan menawan dan mengambil ghanimah Perang Jamal. Lalu jika Ali tidak melakukannya karena yang diperangi adalah mukmin, maka menurut para teroris, Ali telah berdosa karena telah memerangi orang mukmin. Nanti dugaan mereka akan disanggah dengan cerdas oleh Ibnu Abbas.
Kembali ke dialog Ibnu Abbas, sang shahabat berkata, “Lalu apa alasan yang ketiga?”
Si khawarij berkata, “Adapun yang ketiga, dia (Ali) telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin, berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).”
Ibnu Abbas pun berkata, “Adakah alasan kalian selain tiga ini?”
Mereka menjawab, “Tidak, hanya tiga ini.”
Ibnu Abbas pun menjawab dengan keluasan ilmu yang ia miliki. Ia berkata, “Ucapan kalian bahwa Ali telah menggunakan manusia dalam memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin), maka sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan syubhat kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (ke jalan yang benar)?”
Mereka menjawab, “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu Abbas berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah menyerahkan di antara hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci untuk tebusan saat ihram. Allah berfirman,
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu.....’ (QS Al Maidah: 95).
Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, Allah juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah berfirman, ‘Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan...’ (QS. An Nisa: 35)
Maka demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka (sebagaimana yang dilakukan Ali), lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita (yang lebih pantas)? Manakah yang menurut kalian yang lebih pantas?”
Para teroris itu pun tersadar seraya menjawab, “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu Abbas berkata, “Apakah kalian telah keluar dari masalah pertama?”
Mereka berkata, “Ya.”
Ibnu Abbas lalu melanjutkan, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali telah memerangi tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah).
Demi Allah l! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita (yakni kafir), kalian sungguh telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalian pun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah berfirman,
‘Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.’ (QS. Al Ahzab: 6). Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?”
Jawaban Ibnu Abbas begitu cerdas. Alih-alih menjelaskan tentang Perang Jamal yang diliputi banyak isu, ia justru menjelaskan keutamaan Aisyah dan bagaimana Ali sangat memahami keutamaan tersebut. Alhasil, para teroris khawarij pun menerima pendapatnya yang memang sangat benar itu.
Mereka pun menjawab, “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah.
Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah melakukan perjanjian damai dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi? Ketika itu Rasulullah bersabda kepada Ali,
“Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.”
Ali menulis, ‘Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…’
Segera orang-orang musyrik berkata, ‘Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai rasul Allah, tentu kami tidak akan memerangimu.’
Rasulullah lalu bersabda, ‘Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali tulislah, ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’
Demi Allah, sungguh Rasulullah lebih mulia dari Ali. Meskipun demikian, beliau menghapuskan sebutan Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah.”
Lagi-lagi, jawaban Ibnu Abbas menyadarkan para teroris akan kebodohan diri mereka. mereka pun mengangguk dan menerima semua sanggahan Ibnu Abbas.
Atas hidayah Allah, sekitar 2 ribu orang dari kelompok teroris itu pun bertaubat. Mereka tersadar setelah mendengar penjelasan cerdas dari Ibnu Abbas. Mereka meninggalkan kelompok teroris tersebut dan kembali hidup di bawah pengajaran para shahabat nabi.
Adapun 4 ribu yang lain, hati mereka telah tertutup, kesesatan telah menguasai akal-akal mereka. Mereka yang enggan bertaubat kemudian memerangi muslimin di Perang Nahrawan. Di perang itulah, para teroris membunuh sejumlah muslimin dengan brutal. Hingga puncaknya, mereka pun membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Hingga kini, para teroris khawarij terus beranak pinak. Mereka menyebarluaskan pemikiran sesat dan menganggap teror sebagai jihad. Andai saja mereka memahami Al Qur’an sebagaimana pemahaman shahabat. Andai saja ada da’i yang seberani dan secerdas Ibnu Abbas. Kita memohon pertolongan Allah untuk menyadarkan atau membinasakan mereka para teroris khawarij.
Rujukan: Majalah AsySyariah Edisi 58/2011