Muslimahdaily - Abu Qudamah adalah tabi’n yang terkenal hebat di medan perang. Ia melawan banyak musuh Islam di berbagai momen jihad fi sabilillah. Namun ini bukan kisah tentang Abu Qudamah, melainkan kisah seorang pasukannya.
“Wahai Abu Qudamah, ceritakanlah pada kami kisah paling mengagumkan di hari-hari jihadmu,” pinta seseorang yang berada di majelis Abu Qudamah, di suatu hari, di sudut Masjid Nabawi. Maka berkisahlah Abu Qudamah, sebuah kisah tentang seorang mujahid dan ibunya yang mengharu biru.
Saat itu, Abu Qudamah tengah berada di kota Recca, dan beristirahat di sebuah penginapan. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dan ternyata ada seorang wanita di baliknya. “Apakah kau Abu Qudamah?” tanya si wanita. “Engkaukah yang menyeru umat untuk berjihad?” tanyanya lagi.
Abu Qudamah mengiyakan. Si wanita itu lalu berkata panjang lebar, “Sungguh, Allah telah menganugerahiku rambut yang tak dimiliki wanita lain. Kini aku telah memotongnya. Aku kepang agar bisa menjadi tali kekang kuda. Aku pun telah menutupinya dengan debu agar tak terlihat.
Aku berharap sekali engkau membawa tali kepang ini. Menggunakannya saat kau menggempur musuh, saat jiwa kepahlawananmu menggebu. Menggunakannya saat kau menghunus pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat. Kalau pun kau tak membutuhkannya, aku mohon berikanlah kepada mujahid yang lain.
Aku berharap agar sebagian diriku ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi sabilillah. Aku adalah seorang janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya telah mati syahid di jalan Allah. Kalau pun syariat mengizinkanku berperang, aku akan memenuhi seruannya.”
Wanita itu kemudian menyerahkan sebuah jalinan rambut yang dikepang kuat layaknya tali. Abu Qudamah tak mampu berkata-kata. Ia hanya diam membisu, tak menjawab apapun.
Si wanita lalu berkata lagi, “Wahai Abu Qudamah, walaupun suamiku terbunuh, ia telah mendidik seorang pemuda hebat. Tak ada yang lebih hebat darinya. Ia telah menghafal Al-Qur’an, mahir berkuda dan memanah, selalu shalat malam dan berpuasa di siang hari.
Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi penerus suamiku. Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. Aku persembahkan dia untuk Allah. Aku mohon jangan halangi aku dari pahala,” tuturnya.
Abu Qudamah terus saja mendengarkan kata-kata si wanita itu yang membuatnya sendu. Ia tak bisa berkata-kata selain memperhatikan tali kepang yang diserahkan si wanita. “Letakkanlah dalam barang bawaanmu agar kalbuku tenang,” pinta si wanita.
Abu Qudamah pun melakukannya. Si wanita berlalu pergi sementara Abu Qudamah tak berkata sepatah kata pun. Namun sang panglima telah tersentuh dengan tekad si wanita untuk berjihad. Ia terus merasakan keharuan yang sangat hingga pergi meninggalkan kota dan menuju medan pertempuran.
Belum sampai di pertempuran, yakni ketika ia dan pasukannya berada di benteng Maslamah bin Abdul Malik, seorang pemuda menghampirinya dengan menunggang kuda. Ia memanggil dengan berseru, “Abu Qudamah! Abu Qudamah! Tunggu sebentar! Semoga Allah merahmatimu!”
Abu Qudamah pun berhenti dan meminta pasukannya untuk istirahat sejenak. Ia menghampiri pemuda itu.
Si pemuda segera memeluknya dan berkata, “Alhamdulillah, Allah memberiku kesempatan menjadi pasukanmu. Sungguh Dia tidak ingin aku gagal,” ujarnya dengan baju dan penutup kepala siap bertempur.
“Saudaraku, bukalah dahulu penutup kepalamu,” pinta Abu Qudamah agar dapat mengenalinya.
Ternyata wajah si pemuda begitu tampan bak bulan purnama. Ia masih sangat muda dengan cahaya ketaqwaan terpancar jelas di wajahnya. Namun Abu Qudamah tak mengenali siapa pemuda itu.
“Paman, tidakkah kau mengenaliku?” tanya si pemuda.
“Tidak,” jawab Abu Qudamah.
“Aku adalah putra pemilik titipan itu. Betapa cepatnya kau melupakan titipan ibuku, pemilik tali kepang rambut itu,” ujar si pemuda.
Abu Qudamah begitu terharu. Wanita pemilik tali kepang itu benar-benar mengirim putranya ke medan perang. Ia tak kuasa menahan air mata, tak tega rasanya jika si wanita itu kehilangan putranya, kehilangan pemuda yang masih sangat muda ini. Namun yang bisa dilakukan Abu Qudamah hanyalah menerimanya sebagai salah satu pasukannya.
Di malam sebelum pertempuran, Abu Qudamah mendapati si pemuda tidur dengan gelisah. Ketika bangun, si pemuda itu pun mengisahkan mimpinya bertemu bidadari yang begitu jelita. Namun bidadari itu memintanya menunggu setelah waktu dzuhur.
Ternyata keesokan harinya, di waktu dzuhur, si pemuda menghembuskan nafas terakhir di medan pertempuran. Ia gugur setelah melawan musuh dengan hebat dan gagah berani. Abu Qudamah sempat menemani si pemuda di detik-detik terakhirnya. Si pemuda berkata,
“Paman, lihatlah, bidadari yang pernah kuceritakan padamu ada di dekatku. Dia menunggu ruhku keluar. Paman, demi Allah, tolong bawalah bajuku yang berlumuran darah ini untuk ibuku. Serahkanlah padanya, agar beliau tahu aku tak pernah menyiakan petuahnya. Sampaikanlah salam dariku dan katakan hadiahmu telah diterima Allah.
Paman, saat berkunjung ke rumah nanti, kau akan bertemu adik perempuanku. Usianya sekitar sepuluh tahun. Jika engkau bertemu dengannya, sampaikan salamku padanya dan katakan; Allah-lah yang akan menggantikan kakak sampai hari kiamat. Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syarikalah, sungguh benar janji-Nya. Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah. Inilah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya dan nyatalah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya,” si pemuda pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Air mata Abu Qudamah tumpah sejadi-jadinya. Ia begitu terharu dengan dengan kisah si pemuda dan ibunya. Setelah ia menguburkan si pemuda, Abu Qudamah pun kembali ke Kota Recca. Ia ingin menyampaikan wasiat si pemuda.
Sesampainya di kota, Abu Qudamah kesulitan mencari rumah si pemuda. Ia berkeliling seluruh kota namun tak ada yang didapatinya kecuali seorang gadis kecil yang menghampiri rombongan pasukan. Wajahnya sangat mirip dengan si pemuda. Ia terus bertanya kepada pasukan tentang kakaknya.
“Adik kecil, katakan kepada ibumu, Abu Qudamah datang,” ujar Abu Qudamah, berusaha menghilangkan raut dukanya.
Ternyata si ibu keluar begitu mendengar suara Abu Qudamah. “Engkau ingin memberiku kabar gembira atau berbela sungkawa? Jika putraku datang dengan selamat, berarti engkau berbela sungkawa. Jika dia mati syahid, berarti engkau kemari membawa kabar gembira,” ujarnya.
Abu Qudamah pun menjawab, “Bergembiralah. Allah telah menerima hadiahmu.”
Mendengarnya, si ibu pemilik tali kepang itu pun menangis. Ia berkata, “Alhamdulillah. Segala puji milik Allah yang telah menjadikannya tabunganku di hari kiamat.”
Sementara si gadis kecil adik si pemuda, mendekat kepada Abu Qudamah. Abu Qudamah pun berbisik kepadanya, “Kakakmu menitipkan salam padamu dan berkata; Dik, Allah-lah yang menggantikanku sampai hari kiamat nanti.”
Gadis kecil itu pun menangis kencang. Wajahnya sangat pucat. Ia terus saja menangis hingga tak sadarkan diri lalu meninggal dunia. Si ibu mendekapnya dan menghadapi kematian dua anaknya dengan kesabaran.
Abu Qudamah tak kuasa melihat keharuan keluarga wanita pemilik tali kepang. Ia berkata di penghujung kisahnya, “Aku benar-benar terharu melihat kejadian ini. Aku meninggalkan mereka dengan hati yang penuh kekaguman. Kagum atas ketabahan sang ibu, sifat ksatria sang pemuda dan cinta gadis kecil kepada kakaknya.” Masya Allah.