Muslimahdaily - Seorang shahabiyyah, Ghaziyah binti Jabr Ad Dausiyyah menjalani kehidupan berat dalam mendukung dakwah Rasulullah. Wanita Makkah yang lebih dikenal dengan nama Ummu Syuraik tersebut mendakwahkan dinullah di kalangan wanita Quraisy secara diam-diam. Ketika siksaan kaum kafir harus dihadapinya, bantuan Allah selalu datang berupa rezeki dari langit yang datang secara ajaib.
Ghaziyah beriman begitu Rasulullah mendakwahkan Islam kali pertama. Diam-diam, ia mencari tahu tentang kenabian Rasulullah dan segera mengikrarkan syahadatnya. Di hadapan nabiyullah langsung, Ghaziyah bersyahadat. Sejak saat itu, ia pun bertekad mendakwahkan setiap ilmu yang ia dapat dari lisan Rasulullah.
Setiap hari, Ghaziyah nampak melakukan aktivitas seperti biasa. Ia mengundang teman-teman wanita ke rumahnya, ataupun mengunjungi mereka. Namun sebetulnya, wanita dari kabilah Ghathafan tersebut melakukan dakwah dengan sangat halus. Ia mengenalkan teman-temannya tentang Islam dan kenabian Muhammad.
Dakwah di kalangan wanita Quraisy pun terus berkembang berkat upaya Ghaziyah. Ia melakukannya dengan diam-diam hingga para pemuka Quraisy tak menyadarinya. Ghaziyah tahu betul, jika dakwahnya terbongkar, maka ia harus menghadapi siksaan yang mengerikan dari kaumnya. Nyawa dan hartanya bahkan terancam. Namun ia tetap melakukan dakwah dengan giat tanpa imbalan apapun kecuali pahala.
Sekian bulan berlalu, sejumlah wanita Quraisy telah menyatakan keimanan. Sampai-sampai di kalangan wanita, dakwah Ghaziyah tak lagi menjadi rahasia. Bahkan sering kali terjadi seorang pria memarahi adik perempuannya karena berislam. Namun si adik akan menjawab, “Kenapa kau memarahiku, tidakkah kau tahu bahwa istrimu juga telah berislam?!” Demikianlah para wanita Makkah satu per satu memeluk Islam melalui dakwah Ghaziyah.
Namun semakin banyak wanita yang beriman, semakin terbongkar lah dakwah Ghaziyah. Hingga puncaknya, kaum kafir Quraisy menangkapnya. Saat itu, suami Ghaziyah tak mendampingi. Sang suami, Abu Akr yang juga telah berislam, lebih dahulu berhijrah bersama keluarga dari kabilahnya yang juga telah berislam.
Ghaziyah pun ditangkap seorang diri. Ia ditangkap kaum kafir Quraisy dan diserahkan ke kabilahnya, suku Daus, untuk disiksa.
“Jangan-jangan kau telah memeluk agama Muhammad?!” ujar seorang dari keluarga suaminya.
Tanpa ragu ataupun takut, Ghaziyah menjawab, “Demi Allah, aku telah memeluk agama Muhammad.”
“Maka kami akan menyiksamu dengan siksaan yang berat!”
Dibawalah Ghaziyah dari Dzil Khalashah ke suatu tempat yang tidak ia ketahui. Tubuh Ghaziyah dinaikkan paksa ke atas unta yang kasar tanpa pelana. Di tempat antah berantah, ia ditinggalkan seorang diri selama tiga hari tiga malam tanpa makanan ataupun minuman. Ghaziyah merasakan lapar dan haus yang teramat sangat. Siksaan yang diterimanya begitu berat lagi kejam.
Tak hanya itu, ketika kembali dibawa dalam perjalanan, orang-orang kafir membiarkannya di bawah terik matahari padang pasir. Sementara mereka berteguh dan beristirahat. Tak sedikit pun makanan ataupun air yang diberikan untuk Ghaziyah. Lapar dan haus tak terkira dirasakan Ghaziyah. Belum lagi terik matahari yang menyengat tubuhnya. Sampai-sampai, mata dan telinganya tak lagi dapat mendengar dan melihat. Ia hampir saja pingsan.
Saat puncak keletihan itulah, kaum kafir berkata, “Tinggalkan agamamu itu!”
Namun Ghaziyah tak sedikit pun goyah keimanannya. Lisannya tak mampu menjawab karena begitu lemah tubuh akibat siksaan yang diterimanya. Namun ia berusaha mengangkat jari telunjuknya ke atas langit. Menunjukkan bahwasanya ia masih menauhidkan Allah Ta’ala.
Kaum kafir pun meneruskan siksa mereka kepada Ghaziyah. Mereka kembali beristirahat dan berteduh, berpikir bahwa Ghaziyah akan mengubah keimanannya jika menerima siksa lebih lama lagi, lebih berat lagi. Namun justru saat itulah pertolongan Allah datang.
Dalam kondisi yang sangat lemah, Ghaziyah tiba-tiba merasakan sesuatu yang sejuk di dadanya. Ketika membuka mata, ia mendapati sebuah wadah berisi air ada di sana. Ia pun segera meminumnya. Lalu wadah itu tiba-tiba terangkat dan melayang di langit.
Ketika Ghaziyah ingin meminumnya lagi, wadah itu turun kembali dan terhidang di hadapan Ghaziyah. Ia pun meminumnya kembali. Demikian wadah itu naik dan turun hingga Ghaziyah merasa kenyang, bahkan mengguyurkan air sejuk itu ke tubuh, kepala, dan wajahnya. Ghaziyah pun merasa kenyang dan segar kembali.
Ketika orang kafir bangun, mereka terkejut melihat kondisi Ghaziyah. “Dari mana kau dapat air itu?! Kau mencuri air kami?!” teriak mereka, geram.
Ghaziyah pun mengisahkan apa yang ia alami. Orang-orang kafir itu pun terkejut seraya berkata, “Akan kami periksa simpanan air kami, akan kami buktikan kebenaran agamamu!”
Ketika menilik bekal air mereka, ternyata semuanya tak tersentuh sedikit pun. Mereka pun heran bukan main. “Dari mana kau dapat air itu?!” diulangi pertanyaan yang jawabannya tak masuk akal mereka.
“Sungguh itu adalah rezeki dari Allah untukku,” jawab Ghaziyah.
Mereka orang kafir itu pun lantas bersyahadat. Mereka melihat sendiri kebenaran agama yang diyakini Ghaziyah. Mereka semua masuk Islam dan kelak turut berhijrah ke Madinah menjadi umat pertama Rasulullah. Masya Allah.
Keajaiban tak hanya terjadi sekali. Ghaziyah mengalami kedua kalinya saat ia hendak berhijrah ke Madinah. Saat itu, ia tak memiliki teman untuk berhijrah. Seorang Yahudi dan istrinya kemudian menawarkan bantuan. Berangkatlah ketiganya menuju negeri nabi.
Ketika Ghaziyah ingin mengisi wadah bekal airnya, si Yahudi melarangnya dan menyuruhnya bergegas. Ia menjanjikan akan membagi bekal airnya untuk Ghaziyah. Namun nyatanya, di tengah perjalanan, si Yahudi enggan memberikannya.
“Aku tak akan memberimu minum hingga kau memeluk agama Yahudi!” ujarnya.
Ghaziyah pun menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tak akan menjadi Yahudi selama-lamanya!”
Dengan kesal, Ghaziyah pun kembali ke atas keledainya dan tertidur di atas hewan tunggangannya itu. Sang shahabiyyah baru terjaga ketika merasakan sejuk di keningnya. Lagi-lagi, sebuah wadah berisi air ada di hadapannya. Air itu lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Ghaziyah pun segera meminumnya hingga hilanglah dahaganya. Ia bahkan mengisi wadah bekal airnya dengan air tersebut. Setelah itu, wadah ajaib itu pun naik ke atas langit dan menghilang.
Di pagi hari, betapa terkejutnya pasangan suami istri Yahudi melihat wadah minum Ghaziyah yang penuh. “Dari mana air ini?” tanya mereka.
“Demi Allah! Allah telah menurunkannya dari langit untukku,” jawab Ghaziyah. Si Yahudi terdiam, meyakini namun enggan bersyahadat. Mereka pun mengantar Ghaziyah hingga tujuan.
Ghaziyah pun selamat sampai ke Madinah dan dapat berkumpul lagi dengan suaminya. Terlebih lagi, ia dapat kembali merasakan manisnya ilmu dari Rasulullah di sana.
Ketika suaminya meninggal, Ghaziyah menghibahkan dirinya kepada Rasulullah. Namun Aisyah merasa cemburu hingga turunlah Surah Al Ahzab ayat 50 yang menyatakan tentang bolehnya seorang wanita untuk menghibahkan dirinya kepada nabi. Yakni sebuah kekhususan yang hanya boleh untuk Rasulullah saja.
Namun Rasulullah menolak dengan halus. Meski diizinkan, Rasulullah tak menerima wanita yang menghibahkan diri kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Ghaziyah pun tak berkecil hati. Namun ia enggan menikah kembali dan menghabiskan usianya untuk beribadah kepada Allah.