Muslimahdaily - Malam nampak biasa saja, seperti malam-malam sebelumnya. Namun tidak bagi seorang wanita. Ia mengeluhkan betapa gulitanya malam dan betapa lamanya malam berlalu. Di tengah gulita, ketika orang-orang terlelap, sang wanita masih terjaga bersama kesedihannya.
Ternyata si wanita tengah merindukan suaminya. Malam demi malam ia habiskan dengan bersyair sendu; “Malam ini terasa panjang dan gelap gulita... Hatiku pilu karena tiada kekasih mendampingi... Andaikan bukan karena Allah yang tiada Rabb selain-Nya.. Tentu masih ada kehidupan di ranjang ini... Aku takut kepada-Nya dan ada rasa malu menghantui... Kan kujaga kehormatan suami semoga dia cepat kembali.”
Setelah bersyair, wanita perindu itu menghela nafasnya dengan sangat dalam. Ia begitu merindu hingga kekecewaan muncul dari hatinya. Ia kecewa pada sang Amir. Ialah Umar bin Khaththab yang saat itu memimpin.
“Aaahh... Seharusnya, apa yang kualami malam ini hanyalah masalah yang sangat remeh bagi Umar bin Khaththab,” keluhnya.
Qadarullah, Umar bin Khaththab tengah meronda malam itu. Sudah menjadi kebiasaan Umar untuk berkeliling wilayah muslim di setiap malam. Beliau radhiyallahu ‘anhu blusukan tanpa seorang pun tahu, kecuali seorang asistennya yang mendampingi. Tujuannya blusukan Umar hanya satu; untuk melihat langsung masalah yang dialami rakyatnya. Tepat di malam itu, Umar tengah melintasi rumah si wanita perindu. Sang amirul mukminin mendengar syair si wanita dan mendengar pula keluhan si wanita padanya. Umar pun segera mengetuk rumah wanita itu.
Betapa terkejutnya si wanita perindu. Ia enggan membukakan pintu seraya berkata, “Siapa gerangan malam-malam begini mengetuk pintu rumah wanita yang ditinggal suaminya pergi?!”
“Bukakan pintu!” ujar Umar.
Namun wanita itu tetap menolak membukakan pintu. Umar terus saja mengetuk dan minta dibukakan pintu. Namun berkali-kali pula wanita itu menolak. Si wanita tak mengira bahwa yang mengetuk adalah Umar bin Khaththab. Wanita itu justru berkata,
“Demi Allah, seandainya Amirul Mukminin tahu perbuatanmu ini, pastilah ia akan menghukummu!”
Ternyata Umar menguji apakah si wanita menjaga kehormatannya dengan tak membukakan pintu untuk pria asing. Si wanita pun begitu menjaga kehormatannya. Ia bahkan terdengar ketakutan ketika pria asing mengetuk pintunya di malam buta. Umar pun akhirnya mengungkap identitasnya.
“Aku adalah Amirul Mukminin,” ujar Umar.
Wanita itu tetap enggan membuka, “Kau berdusta. Kau bukanlah Amirul Mukminin.”
Umar pun lalu memperjelas suaranya, mengeraskan suara khasnya. Barulah si wanita mengenali. Tahulah ia bahwa benar Umar lah yang mengetuk pintunya. Ia pun segera membukakan pintu.
“Wahai wanita, apa yang telah kau ucapkan tadi?” Umar bertanya. Si wanita segera mengulang syair yang tadi dilisankannya.
“Mana suamimu?” Umar segera bertanya lagi.
“Dia ikut bergabung dengan pasukan perang,” jawab si wanita.
Umar pun segera bertindak. Ia meminta rincian suami si wanita, tentang namanya, dan pasukan mana si suami bergabung. Setelah itu, Umar segera pulang dan mengutus seseorang untuk mencari suami si wanita perindu dan membawanya pulang dari medan perang.
Begitu pulang dari perang, sang suami sempat bertemu dengan Umar. Sang khalifah pun berkata, “Temuilah istrimu!”
Pria itu pun pulang menemui istrinya. Betapa gembiranya si wanita perindu melihat suaminya kembali dari medan perang.
Setelah peristiwa itu, Umar segera menemui putrinya, Hafshah istri Rasulullah. Kepada Hafshah, Umar mencari tahu, “Wahai putriku, berapa lama seorang wanita mampu berpisah dengan suaminya?”
Ummul mukminin rhadiyallahu ‘anha lalu menjawab, “Bisa sebulan, dua bulan, atau tiga bulan. Setelah empat bulan, wanita tak akan mampu lagi (berpisah dengan suaminya).”
Dari jawaban putrinya itu, Umar pun membuat sebuah peraturan baru. Yakni perubahan lamanya pengiriman pasukan ke medan perang dibatasi empat bulan saja. Setelah empat bulan, pasukan diharuskan pulang dari medan perang. Demikianlah kebijakan Umar yang kemudian terus berlaku di kepemimpinan Islam berikutnya.