Muslimahdaily - Hidup dalam kegelimangan harta terkadang membuat seseorang menjadi lupa diri. Terlena akan harta yang berlimpah, sehingga lupa bahwa harta yang mereka punya hanyalah titipan dari Allah.
Di zaman Rasulullah, hiduplah seorang pemuda yang menyandang gelar 'Pemuda terbaik pada zamannya'. Dialah pemuda yang hidup dalam kenikmatan dunia yang berlimpah. Pemuda itu bernama Mush'ab bin Umair bin Hasyim bin Abdul Manaf.
Hidup dalam kemewahan, membuat Mush’ab menjadi sosok yang beda daripada pemuda-pemuda lainnya pada zaman itu. Orangtuanya selalu berusaha memberikan fasilitas terbaik bagi sang buah hati.
Saking dimanjanya, Mush’ab mengenakan sandal al Hadrami, ia juga mengenakan pakaian terbaik dan dikenal sebagai orang Mekkah paling harum, sampai aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam memiliki kesan sendiri saat mendeskripsikan sahabat yang berasal dari suku Quraisy itu. Hal ini dijelaskan di dalam sebuah hadist.
“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Muslim)
Keislaman Mush’ab bin Umair
Lahir dari keluarga jahiliyyah, orangtua Mush’ab sangat taat pada agama nenek moyangnya, penyembah berhala. Karena sangat kaya, ia dan keluarganya sangat dihormati oleh penduduk Mekkah kala itu.
Walau demikian, keadaan tersebut tidak menghalangi Mush’ab untuk mendapatkan cahaya Islam. Kabar mengenai Rasulullah yang diutus sebagai pembawa risalah Allah, membuat hati Mush’ab tergerak. Keraguannya terhadap berhala akhirnya terjawab sudah.
Tak butuh waktu lama, Mush’ab akhirnya memutuskan untuk menjadi muslim. Dengan sembunyi-sembunyi ia menemui Rasulullah di rumah Al Arqam untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
Mush’ab menyembunyikan keislamannya dari orangtua dan teman-temannya. Ia tahu orang tuanya akan sangat marah dan memberinya hukuman jika mengetahui dirinya memeluk Islam.
Namun, kabar keislaman Mush’ab sampai juga ke telinga orang tuanya. Sang ibu marah besar mendengar kabar anak kesangannya menjadi muslim. Ia ditangkap dan dikurung di sebuah ruangan yang kecil dan gelap oleh keluarganya.
Tak lagi dimanja, Mush’ab justru mendapat banyak siksaan dari sang ibu hingga kulitnya yang dahulu mulus kini penuh dengan luka bekas siksaan. Tubuhnya yang dulu kekar dan berisi kini mulai mengurus. Ibunya pun juga mengancam tidak akan makan dan minum hingga Mush’ab mau meninggalkan agama yang dibawa oleh Rasulullah.
Melihat keadaan Mush’ab yang kian memburuk, Nabiyullah bahkan sampai menangis. Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu menceritakan, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah di masjid. Lalu muncullah Mush'ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam)..." (HR. Tirmidzi).
Hari demi hari terus berlalu, namun tak ada satupun yang dapat menghalangi Mush’ab untuk meninggalkan Islam. Cintanya terhadap rasul dan imannya yang teguh membuat Mush’ab rela meninggalkan semua harta bendanya, menjadi pemuda lusuh yang tidak memiliki apa-apa.
Kematian Mush’ab
Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu’anhu, menceritakan Mush’ab setelah menjadi muslim, ia jauh dari keadaaanya dulu. Tak lagi putih bersih, kulit Mush’ab pecah-pecah mengelupas. Jalannya pun tertatih-tatih hingga ia tak mampu lagi berjalan hingga para sahabat mengulurkan busur-busurnya dan memapah dia.
Ketika perang uhud terjadi pada tahun ke tiga Hijriah, Mush’ab menjadi garda terdepan dalam bela kemenangan Islam. Mush’ab tewas dalam keadaan memperjuangkan bendera Islam yang dipegangnya.
Saat itu, kaum kafir melayangkan pedang ke tangan kanan Mush’ab yang memegang bendera Islam. Kemudian, dengan tangkas bendera Islam yang hampir terjatuh itu ditangkap dengan tangan kirinya. Pedang yang mengenai tangan kanan Mush’ab menyebabkan darah bercucuran.
Kemudian, kaum kafir melayangkan pedang lagi, kali ini mereka mengincar ulu hati Musha’ab. Pedang itu menancap tepat di ulu hatinya. Pemuda itu akhirnya terjatuh, gugur, dalam keadaan memperjuangkan bendera Islam.
Melihat kematian sahabat yang sangat dicintainya, Rasululullah merasa sangat sedih. Kala itu tidak ada kain yang cukup untuk menutupi tubuh Mush’ab. Saat kain yang ada di tubuhnya ditarik ke atas untuk menutupi menutupi kepalanya, kakinya pun terlihat. Sebaliknya, saat kain ditarik ke kakinya, kepalanya pun terlihat.
Di akhir hayatnya, Mush’ab benar-benar tidak memiliki apa-apa, bahkan ia tidak memiliki selembar kain yang cukup untuk menutupi tubuhnya.
Kegigihan Mush’ab menjadi bahan instropeksi bagi kita. Jika Mush’ab bin Umair rela meninggalkan kebahagiaan dunia demi Islam, lalu apa pengorbanan yang sudah kita berikan?