Jablah, Penguasa Syam yang Murtad setelah Menunaikan Ibadah Haji

Muslimahdaily - Suatu ketika, Sayyidina Umar bin Khattab Radhiyallahu‘anhu yang tengah berada di Madinah mendapat sebuah surat dari penguasa negeri Syam. Surat tersebut berisi bahwa Raja Ghossan yang bernama Jablah bin Ayham bin Harits itu telah memeluk Islam dan hendak melakukan perjalanan ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Sebelum itu, Jablah bermaksud mengunjungi Madinah untuk menyambung silaturahmi dengan Khalifah Umar sebagai sesama pemimpin besar.

Tentu saja Sayyidina Umar senang dengan kabar tersebut. Ia berjanji akan menyambut dan menjamu tamu kehormatannya saat tiba di Madinah Kelak.

Di Ghossan, Jablab bin Ayham sedang bersiap-siap. Perjalanannya kali ini dibersamai dengan 500 orang yang terdiri dari keluarga kerajaan, kaum kerabat, handa taulan, hingga para pengawal yang siap memenuhi kebutannya selama di Mekkah dan Madinah.

Lebih dari seratus orang pengawalnya mengenakan pakaian tantara yang terbuat dari sutra, kain yang dikenal akan kemewahannya. Para pengawal ini akan menaiki kuda yang berhiaskan emas, permata, dan aneka hiasan mewah lainnya. Sementara Jablah sendiri mengenakan makhota bermata intan dan berlian yang tak terhingga harganya.

Jablah juga memerintahkan pengawalnya untuk memberi kabar pada Sayyidina Umar apabila rombongan mereka sudah dekat dengan kota Madinah.

Di sisi lain, Umar juga memerintahkan para warga Madinah menyambut kedatangan Jablah dengan baik. Mereka diminta membuat hidangan lezat untuk menjamu tamu kehormatannya itu. Saat rombongan Jablah memasuki kota Madinah, para penduduk kota itu keluar dari rumah mereka masing-masing dan bersorak-sorai. Para wanita dan janda dibuat kagum dengan pakaian Jablah, sementara yang lainnya takjub dengan pasukan Raja Ghossan tersebut.

“Assalamualaikum, wahai Amirul Mukminin! Apa kabarmua saat ini?” seru Jablah pada Sayyidina Umar dengan senyum merekah.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab sang Khalifah penuh hormat.

Keduanya lantas berbincang sebentar. Setelah itu Jablah dan rombongannya menyantap beragam hidangan yang telah disiapkan untuk mereka. Sungguh sebuah rezeki yang amat nikmat apalagi baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh.

“Wahai Amirul Muknin, sesungguhnya kedatangan saya ke kota Mekkah nanti adalah untuk menunaikan ibadah haji tahun ini,” ujar Jablah di tengah percakapan mereka.

“Ya, insya Allah saya juga akan melaksanakan ibadah haji tahun ini. Jika tidak keberatan, bagaimana jika kita berangkat bersama-sama ke kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji,” balas Sayyidina Umar.

Tawaran Umar tentu saja disetujui Jablah. Sesampainya di kota Mekkah, keduanya melaksanakan tawaf qudum bersama-sama. Tawaf yang dilakukan sebagai ungkapan selamat datang atau tawaf pembuka dari rangkaian ibadah haji. Tawaf dilakukan dengan mengelilingi Ka’bah sambil membaur dengan Muslimin lainnya.

Di tengah-tengah tawafnya, rupanya kain ihram Jablah sempat terinjak oleh kaki seorang laki-laki dari bani Fazaroh, hingga terlepas dari tubuhnya. Jablah yang terkejut, spontas langsung memukul wajah lelaki itu hingga berdarah.

Tak kalah terkejut, lelaki tadi tak menyangka seorang memukulnya dengan amat keras di saat mereka melakukan tawaf. Karena tak terima, ia lantas mengadukan perilaku Jablah kepada Sayyidina Umar.

Sayyidina Umar mendengar seluruh keluhan lelaki bani Fazaroh dengan hati-hati. Sebagai khalifah yang dikenal bijaksana dan sangat memperhatikan rakyat kecil ini, Umar berusaha keras untuk mencari jalan keluar bagi kedua pihak. Maka diutuslah seorang sahabat untuk meminta Jablah menghadap Umar segera.

“Wahai Jablah, benarkah engkau memukul seorang lelaku dari Bani Fazaroh ketika ia sedang tawaf di sekeliling Ka’bah?” tanya Umar.

“Benar, wahai Amirul Mukminin, saya telah memukul sesorang karena ia telah sengaja menginjak kain ihram saya, hingga terlepas dari tubuh saya. Jika seandainya saja bukan karena kemuliaan Ka’bah, pasti aku telah menebas batang lehernya,” ujar Jablah angkuh.

“Karena engkau telah melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain, alangkah baiknya bila engkau meminta maaf padanya. Jika engkau enggan, maka akan aku perintahkan lelaki tersebut menuntut balas atas perbuatan engaku. Bagaimanapun, berbuat sewenang-wenang kepada sesama muslim sangat tidak dibenarkan,” ucap Umar.

“Apa maksudnya, wahai Amirul Mukminin?” tanya Jablah heran.

“Maka aku meminta lekaki tersebut memukul batang hidung engkau,” jawab Umar.

“Wahai Amirul Muknin, bagaimana mungkin engkau berbuat demikian? Aku ini seorang pembesar dari negeri Syam, sedangkan lelaki itu hanya rakyat jelata!” sergah Jablah berapi-api.

“Ketahuilah olehmu, wahai Jablah, sesungguhnya Islam itu telah mempersatukan engkau sebagai seorang pembesar suatu kaum dengan lelaki tersebut yang hanya rakyat jelata. Sebenarnya antara engkau dengannya tidak ada keistimewaan apa-apa, kecuali keimanan dan ketakwaan,” ucap Umar.

“Saya mengira bahwa saya akan menjadi lebih mulia dan dihormati setelah saya memeluk agama Islam. Akan tetapi, pada kenyataannya saya malah lebih diabaikan dari sebelumnya,” Jablah membela diri. Rupanya keislamannya tak tulus dan hanya berharap kedudukan yang lebih tinggi di dunia.

“Jika engkau masih engga meminta maaf, maka akan aku biarkan lelaki itu membalas perbuatanmu padanya,” ujar Umar mulai jengkel.

"Kalau Amirul Mukminin tetap memaksa saya untuk meminta maaf kepadanya maka saya akan pindah kepada agama Nasrani,” ancam Jablah.

"Kalau engkau berpindah ke agama Nasrani, maka dengan sangat terpaksa sekali saya akan tebas batang lehermu karena sebelumnya engkau telah mengikrarkan dengan suka hati untuk masuk ke dalam agama Islam, dan seandainya sekarang engkau akan berpindah agama, maka saya akan memerangimu,” ujar Umar tak kalah. Gertakan Umar ini mulai membuat Jablah menciut. Oleh sebab itu, Jablah meminta waktu untuk menjawab pilihan Khalifah Umar hingga esok hari.

Sementara di luar rumah Umar, para pengawal Jablah dan beberapa orang dari bani Fazaroh telah menunggu. Masing-masing mereka siap membela kehormatannya. Lantaran takut menimbulkan pertumpahan darah, Umar meminta mereka untuk segera pulang.

Ia takut dengan ancaman Umar yang katanya mau memenggal lehernya tersebut. Oleh sebab itu, Jablah dan rombongannya tergesa-gesa kabur ke negeri Syam. Saat adzan subuh tiba, rombongannya mereka seluruhnya meninggalkan Mekkah.

Add comment

Submit