Muslimahdaily - Adalah Amr bin Jamuh, seorang pemimpin Yastrib yang dikenal cukup taat menyembah berhala-berhala pada masa Jahiliyah. Amr merupakan ipar Abdull bin Amr bin Haram, kepala suku Bani Salamah yang cukup dihormati karena kemurahan hatinya.

Amr memiliki tiga orang putra, yakni Mu’awadz, Mu’adz, dan Khalad. Saat Islam mulai dikenal penduduk Mekah dan Madinah, ketiganya memutuskan untuk menjadi muslim. Begitu pula dengan istri Amr, yakni Hindun yang mengucap syahadat secara diam-diam.

Karena melihat orang-orang mulai masuk Islam, Amr khawatir ketiga anak dan istrinya turut mengikuti ajaran Muhammad tersebut. Apalagi Mush’ab bin Umar mampu nenbuat banyak orang menjadi Muslim dalam waktu singkat. Sementara itu, di sisi lain, Hindun justru berharap Allah menurukan hidayah kepada suaminya tersebut.

“Wahai Hindun, hati-hatilah menjaga anak-anak, jangan sampai mereka bertemu dengan orang itu (Mush’ab bin Umair)!” titah Amr pada Hindun.

“Ya, tapi apakah kamu pernah mendengar putra kita bercerita mengenai pemuda itu?” tanya Hindun.

“Haduh celaka! Apakah Mu’adz telah masuk agama orang itu?” Amr mulai gusar.

“Bukan begitu, Mu’adz pernah hadir dalam majelis orang itu, dia ingat kata-katanya,” jawab Hindun.

“Panggilkan dia ke sini!” perintah Amr.

Ketika Mu’adz hadir di hadapan sang ayah, ia diminta mengulangi kata-kata yang didengarnya di majelis. Lantas Mu’adz membacakan surat Al Fatihah di hadapan kedua orangtuanya tersebut.

Tak disangka, ternyata Amr terpukau keindahan firman Allah yang dibacakan oleh anaknya tersebut. “Alangkah bagus dan indahnya kalimat itu. Apakah setiap ucapannya seperti itu?” tanya Amr.

“Bahkan lebih baus dari itu. Bersediakah ayah baiat dengannya? Rakyat ayah telah banyak yang baiat dengan dia,” terang Mu’adz sumringah.

Amr diam sejenak. Ia menjawab bahwasanya ia akan meminta pendapat Munat, yakni berhalanya yang sangat mahal itu.

“Bagaimana Manat bisa menjawab? Bukankah itu benda mati, tidak bisa berpikir dan tidak bisa berbicara?” ujar Mu’adz.

“Kukatakan padamu, aku tidak akan mengambil keputusan tanpa dia!” tegas Amr.

Setelah itu, ketiga anak Mu’adz berkali-kali berusaha membuang Munat di pembuangan kotoran. Namun berkali-kali juga Amr mengambil berhala kesayangannya tersebut dan memberikan wangi-wangian.

Hingga untuk terakhir kalinya, Amr sadar bahwa Munat-nya tersebut tidak bisa berbuat apa-apa bahkan pada dirinya sendiri. Oleh sebab itu, hari itu ia memutusukan untuk menemui Rasulullah guna menyatakan keislamannya.

Amr bin Jamuh di Perang Badar

Pada saat Perang Badar, Amr yang saat itu tengah pincang tidak mendapat izin dari Rasulullah untuk berjihad. Ditambah lagi usainya telah renta. Rasulullah memberikan keringanan padanya untuk tidak ikut perang.

Di perang selanjutnya, perang Uhud, Amr kembali bersiap-siap ikut barisan dalam perang. Tapi kali ini bukan Rasulullah yang melarangnya, melainkan ketiga putranya. Karena tak mau kehilangan kesempatan berjihad, maka ia mengadukan perkataan anaknya pada Rasulullah.

“Wahai Rasulullah, putra-putraku melarangku untuk berbuat kebaikan bersamamu. Padahal demi Allah, aku benar-benar ingin kakiku yang pincang ini menginjak surga,” keluhnya para Rasulullah.

Ternyata Rasulullah menjawab aduan Amr tersebut dengan perkataan yang menarik. Perkataan yang diucapkan pada Amr berbeda dengan ucapannya kepada anak-anak Amr. Kepada Amr, Rasulullah mengatakan bahwa Allah telah memaafkannya sehingga ia tidak memilih kewajiban lagi untuk berperang. Namun kepada anak-anak Amr, Rasulullah menghimbau agar tidak lagi malarang ayah mereka.

“Hendaknya kalian jangan menghalanginya, semoga Allah menganugerahinya mati syahid,” ujar Rasulullah.

Akhirnya Amr ikut berperang dengan Rasulullah. Di perang Uhud, ia syahid bersama pasukan Muslim lainnya. Usai perang tersebut, Rasulullah bersabda bahwasanya ia melihat Amr bin Jumuah telah menginjakkan kakinya yang pincang di surga.