Muslimahdaily - Canggihnya teknologi memang semakin memudahkan pekerjaan manusia. Mulai dari mendapatkan informasi hingga membuat kehidupan jadi lebih praktis. Namun, bukan tak mungkin kita justru terlalu mengandalkan teknologi hingga akhirnya kita menjadi malas dan manja.
Kali ini, ada satu kisah dari Imam Al Ghazali yang bisa jadi pembelajaran buat kita, yang masih suka menyepelekan ilmu pengetahuan dan terlalu mengandalkan teknologi. Ulama besar dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali ini pernah mengalami sebuah musibah besar. Bukan musibah seperti bencana alam, melainkan musibah besar atas ilmu-ilmu yang dipelajarinya.
Melansir dari laman NU Online, dikisahkan bahwa suatu hari, ulama asal Iran tersebut tengah melakukan sebuah perjalanan hingga muncul segerombolan perampok. Mereka berusaha mengambil seluruh harta milik Imam Al Ghazali. Kemudian meninggalkan sang ulama seorang diri.
Dengan seluruh tenanganya, Al Ghazali berusaha mengikuti jejak langkah para perampok tadi. Bukan untuk harta benda yang diambil, melainkan untuk harta yang lebih berharga daripada itu, yakni catatan hasil belajarnya bersama guru-gurunya seumur hidup.
“Pergilah, kalau tidak engkau akan binasa!” hardik si pemimpin perampok tatkala melihat Al Gazali hampir menyamai langkah mereka.
“Aku mohon padamu, demi Dzat yang kalian mengharapkan keselamatan dari-Nya, tolong kembalikan kepadaku catatan-catatan bukuku. Sungguh catatan-catatan milikku tak akan bermanfaat untuk kalian,” pinta Al Ghazali dengan sungguh-sungguh.
“Apa yang kau maksud dengan catatan milikmu?” tanya si pemimpin perampok.
“Lihatlah kitab-kitab di dalam keranjang itu. Sungguh aku telah berjuang untuk mengumpulkan catatan-catatan itu dari hasil aku mendengar uraian guru-guruku. Telah aku habiskan banyak waktu untuk menulis serta memperlajari maksudnya,” harap Al Ghazali.
Pintanya hanya dibalas dengan gelak tawa dari para perampok. Ia sadar betapa berharganya catatan-catatan itu di sisi Al Ghazali. Dan betapa tak berdayanya jika mereka mangambil seluruh catatan milik Al Ghazali.
“Oh sungguh malang sekali, bagaimana mungkin engkau mengaku mengetahui ilmu yang telah engkau pelajari? Sedangkan kini kami telah mengambil seluruh catatan ilmumu. Tanpa tumpukan catatan-catatan itu, engkau kini tak memiliki ilmu sedikitpun,” cemooh pemimpin perampok.
Karena tak tega dengan Al Ghazali, akhirnya pemimpimn perampok meminta anak buahnya untuk mengembalikan seluruh catatan yang mereka sempat ambil. Di sisi lain, tentu saja Al Ghazali merasa lega hingga ia menyadari bahwasanya kejadian yang baru saja menimpanya adalah teguran dari Allah.
“Inilah teguran dan peringatan dari Allah kepadaku,” gumamnya dalam hati.
Selama ini ia merasa cukup dengan catatan-catatan yang dibuatnya. Padahal ketika catatan tersebut tak ada sisinya, ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya hanya angin lalu. Tak banyak dari ilmu tersebut yang tinggal di dalam ingatannya.
Oleh sebab itu, sesampainya di kota Thus, sang ulama segera menghapal seluruh catatan yang sempat dicuri tersebut sehingga jika nanti catatan itu dirambok atau terbakar, ilmunya tetap terpelihara. Setidaknya Al Ghazali menghabiskan waktunya selama 3 tahun untuk menghapalnya.
Di samping sebagai teguran bagi kita yang kerap mengandalkan canggihnya teknologi, kisah ini juga sebagai pengingat bahwasanya Allah selalu menyelipkan hikmah di balik setiap musibah. Bayangkan saja, seandainya Al Ghazali tidak dirampok, belum tentu beliau akan lebih giat menghapal seluruh catatan akan ilmunya.
Wallahu ‘alam.