Muslimahdaily - Juwairiyah binti Al-Harits adalah seorang anak dari pemimpin suku Bani Mushthaliq bernama Al-Harits bin Abu Dhirar, kehidupannya bergelimang harta yang banyak.
Ia menetap di sebuah istana milik ayahnya yang amat megah. Kepribadiannya berakhlaq mulia, terdidik dan memiliki paras yang caktik jelita, sehingga banyak kalangan yang ingin mempersuntingnya. Hingga datang pemuda bernama Musafi’ bin Shafwan dari Khuza’ah yang terpaut hati padanya dan Juwairiyyah pun menjadi istrinya. Juwairiyah bin Al-Harits lahir pada 14 tahun setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah.
Ketika cahaya Islam menerangi jazirah Arab, Rasulullah mendirikan pilar untuk menjaga cahaya Islam dengan pilar-pilar berikut ini:
1. Membangun hubungan manusia dengan Allah Subhanhu Wa Ta'ala
2. Membangun hubungan antara sesama umat islam
3. Membagun hubungan antara umat Islam dengan umat-umat non Islam.
Namun cahaya tersebut hanya dirasakan oleh hati orang-orang yang bersih, hingga tidak semua kalangan menerimanya bahkan mengikuti ajaran Islam. Justru sebaliknya, beberapa dari mereka menentang pilar tersebut, salah satunya suku Bani Mushthaliq. Bani Mushthaliq hanyalah bagian sisa-sisa suku yang keberadaannya tidak memiliki banyak arti di Jazirah Arab. Oleh karena itu, Al-Harits bin Abu Dhirar melakukan berbagai cara mempengaruhi suku-suku Arab yang lainnya untuk menyerang kaum Muslimin.
Perang Bani Mushthaliq pun terjadi pada bulan Sya’ban di tahun 6 Hijriyah. Pada tanggal 2 Sya’ban kaum muslimin bergerak menuju Bani Mushthaliq, sedang mata-mata yang dikirim musuh telah ditangkap dan dibunuh oleh kaum muslimin. Beritanya menyebar dengan cepat dan membuat suku-suku yang bergaung dengan Bani Mushthaliq mengundurkan diri kerena ketakutan. Dalam peperangan tersebut Musafi’ bin Shafwan terbunuh bersama 10 orang lainnya, dan kaum muslimin menawan 700 tawanan yang terdiri dari anak-anak dan perempuan, salah satu perempuannya yakni Juwairiyah binti Al-Harits.
Setelah pembagia harta rampasan perang, tiba pula pembagian tawanan perempuan. Juwairiyah binti Al-Harits pun menjadi bagian Tsabit bin Qais bin Syammas (sepupunya). Ia membuat kesepakatan Mukaatabah yakni pengajuan pembebasan diri (agar menjadi merdeka) yang dilakukan oleh seorang budak kepada tuannya dengan membayar sejumlah uang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Namun, Mukaatabh tersebut belum selesai, sehingga ia meminta Rasulullah untuk menyelesaikan permasalahan Mukaatabhnya.
Rasulullah berkata, “Apakah engkau suka mendapatkan yang lebih baik dari itu?” Jurwairiyah tidak mengerti sehingga ia bertanya, “Apa itu wahai Rasullah?” Rasulullah berkata, “Aku melunasi Mukaatabahmu lalu aku menikahimu.” Juwairiyah menjawab, “Aku setuju wahai Rasulullah.” Rasulullah kemudian berkata, “Kalau bergitu, aku siap melunasinya.”
Subhanallah, kita kembali merasakan kasih sayang Rasullah kepada umatnya. Kasih memerdekakan seorang anak suku Bani Mushthaliq yang sejatinya pun hidup jauh dari harapan menjadi seorang budak. Rasulullah memuliakannya dengan menjadikannya seorang Ummul Mukminin.
Kebahagiaan itu dirasakan sangat mendalam oleh Juwairiyah binti Al-Harits. Kabar pernikahannya menyebar di antara para sahabat. Sehingga para budak yang ditawan dari Bani Mushthaliq miliki para sabahat dimerdekakan hingga sejumlah 100 kepala keluarga, Juwairiyah binti Al-Harits memberikan berkah kepada kaumnya.
Juwairiyah merasa lebih bahagia ketika tinggal di rumah sederhana bersama Rasulullah dibandingkan istananya yang teramat megah. Setelah memeluk Islam, ia pun menjadi perempuan yang sangat taat pada perintah Allah dan mempelajari Al-qur’an serta hadits dari sang suami, Rasulullah. Ia senantiasa berpuasa, melantunkan dzikir, menunaika shalat malam hingga pantas disebut sebagai perempuan yang tekun beribadah.
Seperti umat Rasulullah yang lain, kabar kepergian Rasulullah dari dunia yang fana ini menelan kesedihan yang mendalam di hatinya. Hari-harinya bersama Rasulullah terasa amat singkat, kesedihannya nyaris membuat hatinya hancur. Namun ia berusaha menguatkan hatinya dengan berdzikir kepada Allah.
Setelah kepergian Rasulullah, ia menghiasi dirinya dengan dzikir, senantiasa berdo’a, menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada para penuntut ilmu yang datang ke Madinah. Juwairiyah binti Al-Harits, melewati setangah usianya di bawah pemerintahan khulafaur rasyidin hingga tiba di masa kepemimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu 'Anhu. Ia pun wafat di usia 70 pada bulan Rabiul Awwal di tahun 50 hijriyah, jasadnya bersemayam di pemakaman Baqi dan berada di samping makan para istri dan putri Rasulullah.