Muslimahdaily - Cinta sebuah kata sehangat mentari, sesuci air, semanis madu dan memabukkan laksana khamr.  Dengan cinta pahit terasa manis, dengan cinta hati keras menjadi lunak, dengan cinta si kikir menjadi dermawan, dengan cinta seorang budak menjadi raja.

Seseorang yang tengah bersemi rasa cinta dihatinya, perasaan itu dapat menjadi sebuah obat mujarab penyembuh seribu macam penyakit. Namun juga dapat menjadi racun yang seketika mematikan.

Setiap insan tentunya merindukan rasa ingin mencintai dan dicintai namun terkadang segala harapan untuk bersama dengan sang kekasih hati harus pupus karena tak bersambut rasa atau bertepuk sebelah tangan.

Terabadikan dalam sebuah hadits kisah cinta Mughits yang tak pernah pudar kepada Barirah sang kekasih hati, walaupun penolakan terus ia dapatkan.

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ زَوْجَ بَرِيرَةَ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِى ، وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لِعَبَّاسٍ « يَا عَبَّاسُ أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا » . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله

عليه وسلم – « لَوْ رَاجَعْتِهِ » . قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْمُرُنِى قَالَ « إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ » . قَالَتْ لاَ حَاجَةَ لِى فِيهِ

Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, sesungguhnya suami Barirah adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Barirah ke mana ia pergi sambil menangis . Air matanya mengalir membasahi jenggotnya.

Mughits adalah salah satu sahabat Rasulullah yang berstatus budak, ia memiliki istri bernama Barirah yang juga seorang budak. Namun pada suatu hari, Barirah dimerdekakan oleh Sayyidah Aisyah, sehingga statusnya berubah menjadi wanita yang merdeka. 

Setelah statusnya berubah, Rasulullah memanggil Barirah lalu memberikan hak pilihan kepada Barirah untuk memutuskan antara tetap menjadi istri dari suaminya yang masih berstatus budak atau berpisah. Mengapa ini dilakukan? Karena dalam syariat disebutkan bahwa seorang budak perempuan yang menjadi istri budak laki-laki kemudian merdeka, maka baginya Khiyar (pilihan untuk tetap dengan suaminya atau berpisah).

Barirah memutuskan untuk berpisah dari Mughits, dan itu sudah menjadi haknya. Bahkan Barirah berkata kepada Rasulullah, “Walau Mughits memberiku sekian banyak harta, aku tidak mau menjadi istrinya lagi.” Barirah memang tidak mencintai Mughits, ketika Rasulullah memberikan pilihan padanya saja, ia lebih memilih untuk berpisah. Hal ini terjadi bukan karena Mughits tidak baik dan sebaliknya juga Barirah bukanlah seorang yang berakhlak buruk. Melainkan memang sebuah perasaan yang tidak bisa dipaksakan untuk mencintai seseorang.

Berbeda dengan Barirah, Mughits justru sangat mencintai Barirah. Bahkan setelah berpisah Mughits masih membuntuti Barirah di jalan-jalan Kota Madinah, sambil berharap belas kasih kembalinya Barirah.

Mendengar kisah tersebut, Rasulullah bersabda kepada Abbas. “Hai Abbas, tidakkah kau mengagumi besarnya cinta Mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits?”. Rasulullah juga berpesan kepada Barirah, “Mungkinkah kau rujuk lagi kepada Mughits?” Barirah menjawab, “Apakah baginda menyuruhku untuk rujuk?” Rasulullah bersabda “Oh tidak, sesungguhnya aku hanya seorang penolong.”

Sikap Barirah menunjukkan betapa besarnya rasa hormat kepada nabi. Ketaatan itu sungguh bertentangan dengan perasaannya, ia mengerti dengan sebuah ketaatan kepada nabinya yang ia cintai maka akan mengantarkan kepada keridhaan Rabbnya. Melawan kebencian terhadap Mughits dan menjalani dengan sabar, jika memang itu adalah sebuah perintah maka ia akan taat untuk kembali kepada Mughits.

Rasulullah tahu betul keadaan Mughits yang terus berharap kepada Barirah. Beliau pun tidak melarangnya untuk mencintai mantan istrinya. Bagaimanapun keadaan itu timbul bukan dari dorongan kehendak yang sadar. Besarnya cinta Mughits kepada Barirah tidak bisa dibendung.

Ibnu Qayyim al Jauziy dalam Taman Pencinta (Raudhah al-Muhibbin) mengungkapkan, ada banyak pendapat mengenai cinta. Umumnya, pendapat itu terbagi dua golongan besar. Apakah cinta merupakan hasil inisiatif sendiri dan diupayakan atau ketetapan di luar manusia. 

Begitulah sebuah kehidupan, apa yang diinginkan seseorang belum tentu akan terwujud. Hal ini mengingatkan kita arti tawakal kepada Allah dan mengingat tentang takdir Allah bahwa setiap yang dikehendaki Allah pastilah terjadi.