Muslimahdaily – Ashim bin Tsabit bin Aqlah adalah salah satu sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam yang selalu hadir dalam peristiwa Badar dan Uhud. Dalam setiap peperangan yang dilakukannya di jalan Allah, ‘Ashim bin Tsabit selalu berhasil menebas kepala setiap kaum musyrik yang memusuhi Islam saat itu. Keberanian dan kegagahannya di medan perang pun didengar oleh banyak musuh.
Pada bulan Syawal tahun ke-3 Hijriyah, terjadi perang Uhud. Ia berhasil membunuh tiga laki-laki sekaligus (Musafi’, Kilab, Jallas). Ketiganya adalah putra salah seorang pemuka Quraisy, Thalhah bin Abi Thalah dan Sulafah binti Sa’ad bin Suhaid.
Perang Uhud tersebut berakhir dengan kemenangan di tangan orang kafir Quraisy. Mereka berlompatan kegirangan berhasil menuntut balas terhadap Kaum Muslimin pada peristiwa satu tahun sebelumhnya (Perang Badar) dimana banyak tokoh-tokoh mereka yang terbunuh.
Sulafah binti Sa’d berdiri di tepian medan Uhud dengan harap cemas. Ia menunggu anak-anak dan suaminya yang tidak kunjung nampak. Meski perang telah usai dan kemenangan pun telah diraih, dengan gundah hati ia masuk ke medan pertempuran dan mengamati satu per satu mayat yang bergelimpangan.
Sulafah histeris tatkala memandang mayat pertama yang dilihatnya adalah suaminya. Tak jauh dari situ, jasad dua anaknya pun dilihatnya terbujur kaku dipenuhi luka. Sulafah kembali melihat sekeliling, didapatinya suara rintihan anaknya yang lain. Dengan segera ia mendekat dan membaringkan kepala anaknya yang sekarat di pahanya.
Dengan dada bergemuruh penuh rasa dendam, ia bertanya, “Siapakah yang membunuh ayah dan saudara-saudaramu, Nak?”
“’Ashim bin Tsabit, wahai Ibu…” jawab si anak sebelum nafasnya berakhir.
Air mata Sulafah berlinang, dadanya dipenuhi dengan dendam dan kebencian. Ia bersumpah tidak akan menghapus air matanya sebelum para pemimpin Quraisy membantunya mendapatkan kepala ‘Ashim bin Tsabit. Untuk mewujudkan dendamnya ia membuat sayembara menjanjikan 100 ekor unta kepada siapapun yang berhasil membawakan batok kepala ‘Ashim bin Tsabit kepadanya.
Sufyan bin Khalid, salah seorang lelaki Quraisy tergiur dengan iming-iming yang ditawarkan tersebut, ia pun akhirnya mengatur strategi dan rencana, kemudian ditemuilah beberapa orang dari suku Adhal dan Qarah, agar pura-pura masuk islam pergi ke Madinah untuk menemui Rasulullah.
Benar saja, di tahun 4 H beberapa orang yang berasal dari suku Adhal dan Qarah datang ke Madinah guna untuk menemui Rasulullah, meminta kepada beliau agar mengirim beberapa sahabat untuk mengajarkan Islam ke kampung mereka, salah seorang yang diminta adalah Ashim bin Tsabit.
Berangkatlah Ashim bersama lima sahabat lainnya. Di tengah perjalanan sebelum sampai di kabilah yang dimaksud mereka dihadang seratus pasukan siap tempur. Ternyata mereka bukan diminta untuk jadi guru agama tapi untuk dibunuh secara kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Mereka menipu Rasulullah, mereka sebenarnya menginginkan kedudukan dan harta ditengah-tengah kaum kafir Quraisy di Makkah. Melihat pengkhianatan dan kondisi yang tidak seimbang, ‘Ashim dan para sahabat berlari ke bukit untuk berlindung. Pemimpin pasukan yang menghadang menawarkan kepada mereka untuk mengalah dan tunduk serta akan diberikan jaminan keselamatan, tapi ‘Ashim tidak mau tunduk kepada mereka. Dia tidak mau mengalah kepada pengkhianatan. Lebih baik mati daripada membiarkan diri terhina di bawah bayang-bayang orang-orang kafir pengkhianat.
“Menyerahlah! Kami tidak akan menyakiti kalian jika kalian menyerahkan diri!” kata mereka.
“Sungguh kami tidak percaya pada kata-kata kaum musyrik!” jawab ‘Ashim dengan tegas.
Ashim bersikukuh tidak akan mengalah dan berucap kata yang abadi. Ashim mengucapkan kata-kata yang menembus langit dan semua makhluk Allah bergetar mendengarnya. Kata-kata yang mesti dihafal dan dirapal setiap hari oleh mereka yang sangat cinta kepada kekafiran dan lebih memilih berbaur, bergabung berkongsi dan berbangga dengan kaum kafir yang memusuhi Islam.
"Demi Allah saya tidak mau menyentuh dan tidak ingin disentuh oleh orang-orang kafir sedikitpun selama hayat masih dikandung badan." Inilah kalimatnya, inilah ucapannya dan Allah mendengarnya dan Allah perkenankan kata-kata ini.
Ashim terus melawan hingga busur panahnya habis. Dia bertahan hingga tombaknya pun patah dan akhirnya tidak tersisa senjata melainkan pedang di tangan lalu dia pun berdoa.
Ashim pada akhirnya meninggal sebab enam lawan seratus pasukan bersenjata lengkap bukanlah perang tapi pembantaian.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda bahwa ada umatku dia hanya orang biasa, rambutnya acak-acakan, pakaiannya berdebu namun jika dia bersumpah atas nama Allah pasti Allah kabulkan dan dengarkan. Jasad Ashim terbujur kaku bersimbah darah bersama dua orang sahabatnya. Tiga orang lain akhirnya mengalah dan menjadi tawanan.
Orang-orang kafir bermaksud memotong kepala Ashim dan memisahkan dengan jasadnya untuk dipersembahkan kepada Sulafah binti Saad agar mendapatkan hadiah sayembara yang diadakannya.
Tapi Allah sudah sangat cinta kepada sahabat ini. Allah sudah dengar sumpahnya. Saat kaum kafir pengkhianat tadi ingin mendekati jasad Ashim untuk memotong kepalanya tiba-tiba datang kerumunan lebah melindungi tubuhnya. Melihat kejadian tersebut mereka memutuskan menunggu hingga malam tiba.
Saat malam tiba dan lebah sudah hilang karomah lain tiba-tiba muncul, air banjir datang membawa jasad Ashim hingga hilang tidak tahu ke mana rimbanya.
Ashim bersumpah untuk tidak menyentuh dan disentuh oleh kaum kafir saat hidupnya maka Allah menjaga jasadnya setelah meninggal agar tidak tersentuh oleh orang-orang kafir.