Muslimahdaily - Adalah Saudah binti Zam’ah, wanita yang dipilih Rasulullah sebagai istri pasca wafatnya Khadijah binti Khuwailid. Nabiyullah yang sangat mencintai Khadijah cukup lama memutuskan untuk menikah lagi. Hingga kemudian Saudah lah yang mendapat keutamaan untuk menggantikan peran Khadijah tersebut.
Dalam Ar Rahiq Al Makhtum disebutkan bahwa Rasulullah menyunting Saudah pada tahun ke-10 kenabian dengan statusnya sebagai janda. Saudah baru saja selesai idah selepas suaminya, As Sakran bin ‘Amr meninggal dunia sepulang dari negeri hijrah, Habasyah. As Sakran adalah salah satu sahahabat Rasul yang bersyahadat di awal keislaman.
Pun demikian dengan Saudah. Ia pula menjadi salah satu muslimah yang turut merasakan getirnya perjuangan awal dakwah Islam. Bersama Sakran, ia termasuk dalam rombongan hijrah ke Habasyah ketika para kafir Quraisy mulai berlaku kejam terhadap muslimin. Keduanya kemudian sempat merasakan kedamaian di bawah perlindungan raja Habasyah.
Namun ketenangan hidup di negeri asing tak berlangsung lama hingga akhirnya Saudah dan suami memutuskan kembali ke Makkah. Saat itulah Saudah mengalami kedukaan tak terkira karena sang suami wafat setiba di kota kelahiran Islam. Namun kedukaan itu ternyata membawa kabar gembira dari Rasulullah yang kemudian meminangnya.
Rasulullah pun memperistrinya dan menjadikan Saudah sebagai ummul mukminin. Selepas Saudah, Rasulullah terbiasa menyelamatkan janda muslimin dengan menjadi anggota keluarga nabi, kecuali Aisyah, satu-satunya gadis yang dinikahi oleh beliau Shallallahu‘alaihi wa sallam.
Ada kisah menarik di perjalanan rumah tangga Saudah dan Rasulullah. Pernah terjadi konflik antara kedua sosok mulia itu di tengah badai rumah tangga yang tak terelakkan. Rasulullah hampir saja menceraikan Saudah. Wanita shalihah itu pun ketakutan. Ia ingin meninggal dan dibangkitkan kelak dengan status sebagai istri Rasulullah.
Saudah yang merasa dirinya telah berusia lanjut pun kemudian memberikan hari bergilirnya untuk Aisyah. Ia rela melakukannya asal dapat menjadi istri Rasulullah hingga akhir hayatnya. Saudah pula mengetahui bahwa suaminya memiliki perasaan yang lebih kepada Aisyah dibanding istri beliau yang lain.
Atas perkara Saudah ini, Allah pun kemudian menurunkan ayat tentangnya. “Jika seorang mengkhawatirkan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, tidak mengapa bagi keduannya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Jika kalian bergaul dengan istri kalian cara baik dan memelihara kalian (dari nusyuuz dan sikap tak acuh), sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. An-Nisa: 128).
Nusyuz merupakan sikap durhaka seorang istri pada suaminya. Ayat terebut pun kemudian menjadi rujukan hukum berumah tangga bagi kaum muslimin hingga akhir zaman.
Saudah menyadari kesalahannya dan memilih merelakan waktu bersama sang terkasih demi ikatan pernikahan yang enggan ia akhiri. Rasulullah pun menyetujui saran Saudah dan tetap menjadikan Saudah sebagai istri beliau, sang istri setelah Khadijah, sang wanita mulia.
Keinginan Saudah terijabah. Ia berstatus sebagai ummul mukminin hingga akhir hayat bahkan hingga di akhirat kelak. Semoga Allah memberi kedudukan yang tinggi bagi keikhlasan Saudah binti Zam’ah.