Lewat Kepolosan Anak, Heather Menemukan Cahaya Islam

Muslimahdaily - Hidayah nyatanya memang bisa datang dari arah yang tak terduga, bisa dari perbuatan atau perkataan seseorang yang kita dengar. Bahkan seorang anak kecil yang polos pun bisa menyampaikan pesan yang sangat mendalam bagi orang yang lebih dewasa.

Inilah yang dialami oleh Heather, seorang guru di pusat pengasuhan anak (PAUD) di Texas. Suatu hari di tempat kerjanya, ia bertemu dengan pasangan muslim yang sangat baik. Seorang ibu datang dan dia memakai niqab, namun boss Heather menolak untuk berbicara dengan wali murid itu.

Pada akhirnya Heather mengambil alih peran bossnya dan berbicara pada ibu itu. Sesat setelah ia pergi, Heather menanyakan alasan atasannya menghindari wanita bercadar tersebut.

Ternyata alasan utamanya adalah rasa takut akan wanita bercadar. Karena ia menganggap bahwa mungkin bisa saja wanita itu menyembunyikan sesuatu di dalam niqabnya dan berniat untuk membunuh dan meledakkan sekolah.

Sang boss berkata bahawa hal itu telah di perintahkan di dalam kitab sang wanita bercadar. Yaitu perintah untuk membunuh orang.

Namun karena sikapnya yang kritis, Heather takpercaya begitu saja ucapan atasannya. Ia tak percaya bahwa ada agama dan kitab apapun yang menyuruh pengikutnya untuk membunuh orang.

Berkat rasa penasarannya, Heather pergi ke toko buku dan membeli Al-Qur’an, kitab suci yang dipercayai oleh wanita bercadar itu. Kemudian ia membacanya, mempelajari dan menari tahu tentang perintah untuk membunuh orang.

“Ketika aku tidak menemukan hal itu, aku kembali pada bossku dan kubilang, tidak ada dan tak tertulis. Bahkan isinya berlawanan dengan itu semua,” ujarnya.

Perjuangan Menjemput Hidayah

Waktu berlalu, Al-Quran yang saat itu menjadi bahan pembuktiannya, kini ia tinggalkan. Namun, nyatanya dalam lubuk hati yang terdalam, isi dan makna dari Qur’an tak pernah meninggalkannya.

Semenjak membaca isi Al-Qur’an, Heather selalu terkagum dengannya. Ia mebaca banyak kisah Nabi yang juga pernah ia baca dan pelajari saat dirinya masih beragama Kristen. Dari situ, ia mencoba untuk mempelajari Islam lebih dalam.

Heather memulainya dengan menemui sebanyak-banyaknya muslim yang ada di sekitarnya.

“Setiap orang yang berjalan kutanyakan satu persatu apakah dia seorang muslim, jika benar, maka aku akan memberikan mereka beberapa pertanyaan,” katanya.

Suatu hari, Heather mendapat undangan untuk mengunjungi salah satu rumah keluarga muslim yang ia kenal di sekolah, namanya keluarga Wahdan Ali dari Arab Saudi. Saat masuk kedalamnya, ia sangat terkejut karena melihat bahwa wanita itu adalah juga seorang ibu yang sama sepertinya. Mengurus anak, menggantikan popok, memasak dan mengurus pekerjaan rumah lainnya.

Namun hal yang berbeda adalah kedamaian, kebaikan dan kedermawanan yang Heather rasakan pada keluarga tersebut.

Momen itu memberikan inspirasi padanya dan memutuskan untuk menemui lebih banyak lagi orang-orang muslim. Tak peduli dari mana mereka berasal, menurut Heather mereka mempunyai kedamaian yang sama. Heather terkagum pada mereka, jika ada hal yang negatif datang, maka mereka tak akan marah, mereka akan sabar, tenang dan damai.

Merasa Tak Cukup Baik Untuk Islam

Setelah banyak hal yang dihadapi Heather, ia sempat berpikir untuk bisa mengubah statusny amenjadi seorang muslim. Namun, saat itu rasa takutnya masih terlalu besar, ia takut keluarganya akan marah dan mengusir Heather untuk pergi jauh.

Saat itu, Heather memutuskan untuk mencari kedamaian dengan caranya sendiri. Ia memilih untuk meninggalkan sekolah dan pindah ke sekolah lain, berpindah tempat tinggal, cari teman baru, berhenti keluar rumah dan berkencan. Mencoba meninggalkan semuanya, tapi nyatanya ia tetap tak mendapat ketenangan.

Hatinya kembali terketuk untuk menyapa Islam, mencoba membuka Al-Quran, mencari di internet, menonton video dan bertanya banyak pertanyan pada muslim.

“Saat itu pula aku mulai berpikir, ‘mungkin akau tidak cukup baik untuk bisa masuk Islam. Aku tidak bisa merasakan kedamaian karena mungkin aku tidak layak,” ungkapnya.

Akhirnya aku memutuskan untuk melihat Islam dari luar dan menghormatinya. Sebab ia merasa tak cukup baik untuk Islam, untuk menjadi seorang muslim. Heather merasa telah melakukan banyak hal buruk di hidupnya.

Lewat Saif, Heather Berani Melangkah

Heather saat itu sedang bekerja di summer school, ada dua anak didiknya dari Arab Saudi yang sedang membicarakan tentang Ramadhan. Salah satunya anak berusia 8 tahun bernama Saif. Dengan sengaja, Heather mencoba untuk menimbrung pembicaraan mereka.

Saif berkata, “Miss Heather, bagaimana kamu bisa tahu Ramadhan? Kamu mulsim?”

Heather menjawab, “aku pernah belajar islam, aku tahu sedikit tentang Ramadhan. Aku bukan seorang muslim.”

“Biar ku tebak, kamu suka minum alkohol? Atau Kamu suka makan babi?” Ujar Saif dengan sangat polos.

Saat itu Heather menjelaskan pada mereka bahwa dirinya sudah lama tak bersentuhan dengan dua hal itu. Kemudian Heather mendapat pertanyaan dari Saif yang tak pernah ia dengar sebelumnya,

“Lalu, mengapa kamu tak menjadi seorang muslim?” Heather mengungkapkan ketakutannya akan penolakan dari keluarga. Tak disangka, Saif mengatakan sesuatu yang tak akan pernah Heather lupakan sampai kapanpun.

“Miss Heather, mereka kan keluargamu. Mereka akan selalu menyayangimu apapun yang terjadi,” ucap Saif dengan lembut padanya.

Heather tak pernah menyangka, ucapan sederhana namun sangat bermakna ini justru datang dari anak kecil yang masih polos. Ia benar mengakui bahwa keluarganya telah bersamanya sepanjang hidup meski di masa sulit.

“Saif, lalu bagaimana caranya untuk menjadi seorang muslim?”

Menjadi Seorang Muslim

Waktu berlalu, Heather mendapat sapaan dari ayah Saif. Ternyata kabar niatnya untuk masuk Islam disampaikan langsung oleh Saif pada ayahnya.

Dari Saif, Heather bisa mendapat jalan mudah untuk menjadi seorang mualaf. Saat itu syahadatnya disaksiskan oleh banyak muslimah. Heather merasa senang tak terhingga, ketenangan inilah yang selam ini ia cari.

“Kepolosan seorang anak, dialah yang membuka pintu hidayahku, Saif selalu ada dalam doaku, di dalam hatiku, sebab jika dia tidak bilang begitu padaku mungkin aku tak berani melangkah,” ujar Heather.

 

Add comment

Submit